JAKARTA – Indonesia segera berlakukan perdagangan karbon di sektor pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) pada tahun ini setelah diterbitkannya Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Subsektor Pembangkit Tenaga Listrik.

Beleid ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.

Dadan Kusdiana, Plt Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM mengungkapkan regulasi ini bersifat wajib untuk dijalankan. Oleh sebab itu, ia meminta agar semua pelaku usaha dapat mematuhi aturan tersebut.

“Lalu bagaimana kalau tidak bisa memenuhi? karena dalam permennya ini sanksinya relatif normal. Kan kita sekarang jamannya digital, semua akan tercatat, saya misalnya harusnya 100 hanya bisa 80. Nah saya akan tawarkan dua di di belakangnya. yang pertama yang tahun berikutnya dikurangi 20 karena masih punya hutang 20 kalau nggak kita bawa aja terus, kita catat kita akan catat apakah nanti dikonversi menjadi pajak karbon. Misalkan, karena kan sekarang belum siap,” ujar Dadan dalam konferensi pers, Selasa (24/1).

Dalam regulasi ini diatur persetujuan teknis batas atas emisi gas rumah kaca pelaku usaha atau PTBAE-PU. Untuk diketahui, PTBAE-PU adalah penetapan kuota emisi yang diberikan kepada pelaku usaha untuk mengemisikan GRK dalam kurun waktu tertentu yang dinyatakan dalam ton karbondioksida. Penetapan PTBAE-PU sendiri ditetapkan oleh Menteri ESDM melalui Dirjen Gatrik paling lambat 31 Januari 2023.

Adapun, alokasi PTBAE-PU untuk PLTU pada 2023 diberikan sebesar 100 persen. Kemudian, alokasi setelah 2023 diberikan sesuai dengan hasil transaksi perdagangan karbon sebelumnya paling rendah 85%, sementara alokasi pelaku usaha yang tidak mengikuti perdagangan karbon dan dianggap tidak menyampaikan laporan emisi GRK diberikan sebesar 75%.

Selanjutnya ada juga penyusunan monitoring emisi gas rumah kaca (GRK) untuk pembangkit tenaga listrik. Berikutnya, penetapan persetujuan teknis batas atas emisi gas rumah kaca pelaku usaha pembangkit tenaga listrik.

“Ini akan bapak-ibu akan dapat berapa angkanya (kuota emisi), untuk hal tersebut kita sudah selesaikan akhir tahun kemarin. Kemudian perdagangan karbon, penyusunan laporan emisi gas rumah kaca pembangkit listrik dan evaluasi,” kata Dadan.