JAKARTA – Operasi kegiatan tambang PT Bayan Rosources Tbk menyisakan sengketa yang tidak kunjung usai. Ini bermula saat akusisi PT Gunung Bayan Pratama Coal yang dimiliki oleh Almarhum Haji Asri. Kemudian diambil alih oleh pemilik baru Low Tuck Kwong pada tahun 1997.

Akuisisi itu ternyata hingga kini belum usai, bahkan manajemen PT Gunung Bayan Pratama Coal sekarang masih memiliki utang yang belum dituntaskan.

Muhammad Rasyid Ridha, ahli waris Almarhum Haji Asri, menjelaskan sudah lebih dari dua dekade proses akuisisi belum juga rampung. “Kami sudah menanti sekitar 22 tahun untuk penyelesaian hutang sisa pembayaran dari Low Tuck Kwong. Hingga saat ini belum juga dibayar,’’ ungkap Rasyid (25/5).

Menurutnya kedua pihak telah diadakan perjanjian jual beli saham dengan harga Rp 5 miliar. “Namun hingga saat ini baru yang dibayarkan sebesar Rp 3,5 miliar. Sedangkanya sisanya, yang Rp 1,5 miliar, belum dibayar oleh Low Tuck Kwong,” ujar Rasyid.

Sesuai dengan pasal kontrak perjanjian penjualan saham, sisanya akan dilunasi dengan ketentuan perpanjangan waktu kedua selama 30 hari. Namun hingga kini selama 22 tahun belum ada pembayaran sisanya.

Rasyid membeberkan sebelum ada perjanjian jual beli saham, ada perjanjian dasar mengenai kegiatan eksplorasi awal. Dalam perjanjian tersebut, kegiatan eksplorasi pengeboran dan penggalian adalah sepenuhnya biaya yang dikeluarkan ditanggung ICP (perusahaan milik Low Tuck Kwong) baik dari permodalan, pelaksanaan kegiatan, dan pajak-pajak.

“Sewaktu perjanjian jual beli saham dibuat, kondisi tambang masih dalam tahap eksplorasi masih jauh dari tahapan produksi sehingga tidak logis dibebani pajak,” ujarnya.

Hingga kini pihak Bayan Resources belum menjawab konfirmasi perihal segketa hutang piutang tersebut. Dunia Energi sudah mencoba menghubungi Jenny Quantero salah satu Direktur Bayan namun tidak menjawab pertanyaan yang sudah disampaikan melalui aplikasi WhatsApp.

Sementara itu, Anjaya, Koordinator Jaringan Muda Kalimantan, mengatakan bahwa kontroversi Bayan Resources ini masih ditambah lagi dengan klaim perusahaan yang membeli 9 Kuasa Pertambangan (KP) akhir tahun 2010 lalu senilai US$ 325,6 juta, atau setara Rp 2,9 triliun (dengan kurs sekitar Rp9.000-an ketika itu).

“Padahal KP yang dibeli Bayan Resources itu banyak yang bodong. Artinya, untuk mengakuisisi tidak mungkin nilainya mencapai triliunan rupiah. Cukup dengan miliaran rupiah,’’ ujar Anjaya.

Transaksi ini tidak akan terjadi apabila tidak ada dukungan oknum di Pemda Kabupaten, Provinsi, dan Kementerian ESDM. “Ini tentu merugikan rakyat dan Pemerintah RI karena melanggar regulasi,” tegasnya.

Tanggung Jawab Sosial Tidak Tepat Sasaran

PT Bayan Resources Tbk juga dinilai tidak tepat dalam menjalankan kewajiban Tanggung Jawab Sosial terhadap lingkungan yang justru digelontorkan ke tiga perguruan tinggi di Pulau Jawa. Padahal perusahaan itu beroperasi di Kalimantan Timur.

Menurut Anjaya, bermula dari beredarnya kabar tentang Dana CSR yang diberikan oleh PT Bayan Resource senilai Rp 200 miliar kepada tiga perguruan tinggi yakni Universitas Indonesia, ITB, dan UGM. Kabar itu dianggap mencederai perasaan masyarakat Kalimantan Timur. Alasannya, Bayan Resources bergerak di bidang usaha pertambangan batu bara dan beroperasi di wilayah Kaltim.

“Produksi PT Bayan Resources terus meningkat, keuntungan mereka juga bertambah. Tetapi kemana dana CSR untuk warga Kaltim?’’ tegasnya.