JAKARTA – Pemerintah diminta tidak main-main dan harus serius dalam merespon tidak berlanjutnya kontrak jual beli Liquefied Natural Gas (LNG) para perusahaan Jepang yang tergabung Western Buyer Extention (WBX) dengan PT Pertamina (Persero)  pada akhir tahun ini. Kondisi ini menjadi peringatan keras terhadap tata kelola bisnis gas ke depan.

Achmad Widjaja, Wakil Ketua Komite Tetap Industri Hulu dan Petrokimia Kamar Dagang Industri (Kadin), mengatakan nasib kilang LNG di Bontang yang kini dikelola T Badak LNG dikhawatirkan akan seperti kilang LNG Arun di Aceh yang teronggok dan justru tidak lagi memproduksi LNG.

“Sekarang LNG Bontang dalam perjalanan bisa seperti Arun,” kata Achmad kepada Dunia Energi, Jumat (18/9).

Ada tiga fasilitas kilang LNG di Indonesia yakni di Arun, Bontang dan Tangguh di Papua. Namun yang masih eksis memproduksi LNG hanya di Bontang dan Tangguh. Jika tidak ada tindakan serius pemerintah maka bukan tidak mungin sebentar lagi hanya ada satu fasilitas LNG yang beroperasi yakni di Tangguh.

Achmad mengatakan bisnis gas tanah air sudah lama dianaktirikan. Pemerintah terlalu mendewakan ekspor tanpa memperhatikan potensi pemanfaatan gas untuk dalam negeri. Dia menilai tidak ada keinginan dari pemerintah untuk bisa memanfaatkan gas secara bijak dan optimal.

Menurut Achmad, sudah dua presiden yakni Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo menginstruksikan kepada para pembantunya untuk bisa memanfaatkan gas sebagai pengggerak ekonomi, tapi instruksi tersebut tidak jalan. Terakhir instruksi Jokowi melalui Perpres Nomor 4 Tahun 2016 tentang penetapan harga gas bumi implementasinya baru bisa dilaksanakan empat tahun kemudian

“Presiden menyuarakan menuju solar ke gas, batu bara ke gas tidak berhasil. instruksinya. Jadi harus digarisbawahi dua presiden tidak mampu teruskan stimulus ini ke para pembantunya,” kata Achmad.

Kebijakan terbaru untuk merubah bahan bakar 52 pembangkit listrik PT PLN (Persero)  dari BBM ke gas juga masih belum berjalan. Kewajiban tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 13K /13/MEM/2020 tentang pelaksanaan penyediaan pasokan dan pembangunan infrastruktur LNG serta konversi penggunaan BBM dengan LNG dalam penyediaan tenaga listrik.

Dalam keputusan tersebut Pertamina ditugaskan untuk menyediakan pasokan dan pembangunan infrastruktur LNG dalam penyediaan tenaga listrik oleh PLN pada setiap pembangkit tenaga listrik yang sudah ditentukan pemerintah. Disisi lain, PLN ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan gasifikasi pembangkit tenaga listrik dan pembelian LNG dari Pertamina dalam rangka konversi penggunaan BBM jenis High Speed Diesel dengan LNG.

“52 Pembangkit ngga jalan-jalan ngga tahu motifnya apa, BPH Migas ngga bergerak, Kementerian ESDM ngga bergerak,” kata dia.

Teorinya keputusan untuk mengurangi ekspor LNG agar dialihkan ke dalam negeri adalah keputusan tepat. Namun sampai sekarang pelaksanaannya tidak terlihat.

Menurut Achmad, sampai sekarang PLN masih tetap menggunakan banyak solar sebagai bahan bakar pembangkit. Padahal pembangkit listrik adalah penyerap utama gas bumi. “Industri utilitas paling besar gas itu PLN. baru industri pengolahan,” kata dia.

Achmad juga heran dengan Pertamina yang sekarang posisinya sudah sebagai holding migas tapi arah kebijakan korporasi untuk mendukung pemanfaatan gas secara optimal masih tidak ada.

“Pertamina sebagai holding ngga punya visi jalankan integritas dan integrasi hulu dan hilir,” tegas dia.

Carut marutnya kebijakan gas di tanah air harus bisa segera diatasi. Kondisi tidak berlanjutnya kontrak WBX ini bisa jadi momentum agar monetisasi gas di dalam negeri bisa terus ditingkatkan. Respon dan kemauan pemerintah dalam menelurkan kebijakan jadi perhatian serius ditengah pandemi covid-1 yang mengancam seluruh sektor. Investor dipastikan tidak mau lagi mencoba-coba berinvestasi karena kepastian menjadi harga mati.

“Keputusan Presiden beri arahan apapun sampai hari ini tidak terlaksan dan tidak terimplikasi dengan baik. Kondisi begini, dunia usaha butuh kepastian,” kata Achmad.(RI)