JAKARTA – PT Pertamina (Persero) berpotensi menanggung kewajiban penulihan tanah terkontaminasi di Blok Rokan setelah menjadi operator pasca kontrak PT Chevron Pacific Indonesia habis pada 2021 mendatang.

Tajudin Noor, Sekretaris Perusahaan Pertamina, mengatakan tanggung jawab  pemulihan tanah terkontaminasi di Blok Rokan menjadi salah satu poin utama yang dibahas dalam proses transisi alih kelola. Pihak yang akan bertanggung jawab dalam kasus ini menjadi poin krusial.

“Ya tentunya itu menjadi salah satu consider (pertimbangan) kami (Pertamina) juga,” kata Tajudin kepada Dunia Energi, baru-baru ini.

Tanah terkontaminasi minyak bumi merupakan tanah yang terkena tumpahan, ceceran atau kebocoran penimbunan limbah minyak bumi yang tidak sesuai dengan persyaratan dari kegiatan operasional Chevron sebelum tahun 90-an.

Albert Simanjuntak, Presiden Direktur Chevron, mengatakan tanah terkontaminasi minyak merupakan dampak dari operasi masa lalu yang kemudian diubah saat memasuki akhir tahun 90-an. Karena masih menggunakan skema kontrak cost recovery maka setiap kegiatan pembersihan tanah tersebut harus mendapatkan persetujuan dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas).

“Tanah terkontaminasi minyak, kami sudah paparkan ke Komisi VII adalah operasi yang sudah berpuluh tahun. Praktik pada 80-an,  tapi akhir 90-an kami hentikan itu. Implikasinya kami bersihkan, prosedurnya harus mendapatkan izin Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) harus dapat persetujuan SKK Migas,” kata Albert di komplek DPR/MPR.

Menurut Albert, Chevron berniat untuk menyelesaikan pemulihan lahan terkontaminasi sebelum kontrak berakhir pada 2021, namun SKK Migas membatasi luasan lahan yang dipulihkan setiap tahunnya oleh Chevron.

Dia mengatakan sebenarnya awal 2018 Chevron telah melaporkan agar diizinkan menyelesaikan pemulihan tanah terkontaminasi minyak sebelumnya kontraknya di blok tersebut berakhir. Sebab Chevron telah melakukan inventori terhadap tanah di titik-tikik mana saja yang terkontaminasi. Serta meminta agar SKK menyetujui besaran anggaran pemulihan tersebut.

Hanya saja SKK Migas membatasi anggaran yang bisa dimasukkan dalam cost recovery. Sehingga tidak semua anggaran yang dirancang oleh perusahaan mendapat persetujuan SKK Migas.

“Lalu bagaimana tanggjng jawab untuk lokasi yang tidak selesai (dipulihkan). Lokasi yang enggak selesai (disepakati) untuk dikasih ke SKK Migas,” kata Albert.

Jika tidak selesai sebelum kontrak berakhir nanti, maka kewajiban pemulihan lahan terkontaminasi akan dikembalikan kepada SKK Migas. “SKK Migas berapa banyak pun dikontrol, lokasi yang tidak selesai akan dikontrol SKK Migas. Ini sebagai bagian dari alih kelola,” tukas Albert.

Alex Nurdin, Wakil Ketua Komisi VII DPR, mengaku heran dengan skema pemulihan tanah terkontaminasi di blok Rokan. Seharusnya pemulihan itu menjadi tanggung jawab kontraktor dan tidak ada hubungannya dengan cost recovery.

“Itu yang tidak boleh ( di cost recovery) kan tanggung jawab dia (Chevron). Cost recover itu ganti biaya-biaya produksi, tapi kalau kerusakan lingkungan masa di cost recvery,” tegas Alex.(RI)