JAKARTA – Di tengah upaya dekarbonisasi energi untuk mencapai netral karbon secepatnya pada pertengahan abad atau pada tahun 2060, pemerintah Indonesia mempertimbangkan untuk mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Namun, beberapa kecelakaan PLTN di dunia seperti Three Mile Island (1979), Chernobyl (1986), dan Fukushima (2011) dinilai mengindikasikan PLTN sarat risiko keamanan serta dampak yang merugikan secara ekonomi.

Meski telah diatur pada PP Nomor 79 Tahun 2014 tentang nuklir sebagai pilihan terakhir, pemerintah dan PLN tetap mewacanakan PLTN, seperti teknologi small modular reactor, sebagai salah satu solusi pada peta jalan net zero yang sedang disusun.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), memandang dalam kebijakan energi seharusnya pemerintah lebih mengutamakan teknologi yang andal dan dapat dibangun dengan cepat sehingga bisa mengatasi krisi iklim yang mendesak.

“Apabila pemerintah mengandalkan teknologi yang tidak reliable (andal) maka hanya akan menghabiskan sumber daya yang harusnya bisa digunakan untuk mendorong pengembangan energi lain yang lebih aman, reliable dan efektif mengatasi perubahan iklim,” ujar Fabby, dalam webinar memperingati 11 tahun pasca kecelakaan PLTN Fukushima, IESR dan Masyarakat Rekso Bumi (Marem) bertajuk “Dinamika Perkembangan PLTN Pasca Kecelakaan Fukushima”, Jumat (11/3/2022).

Tatsujiro Suzuki, Profesor di Research Center for Nuclear Weapons Abolition di Nagasaki University, yang juga pernah menjabat sebagai Japan Atomic Energy Commission (JAEC) (2010-2014) mengungkapkan kecelakaan PLTN Fukushima telah mengubah sektor energi dan persepsi publik Jepang. Sebelum tragedi Fukushima, terdapat 54 unit PLTN yang beroperasi. Jumlah ini jauh berkurang menjadi 10unit pada tahun 2021. Persepsi publik Jepang pun berubah drastis dari 87 persen (2010) beranggapan PLTN merupakan pembangkit listrik yang diperlukan menjadi hanya 24 persen di tahun 2013. Akibat kecelakaan tersebut, investasi terhadap keamanan dan biaya kecelakaan PLTN meningkat sehingga membuat biaya PLTN tidak lagi menjadi termurah di Jepang. Berdasarkan data Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang (METI) biaya pembangkitan rata-rata PLTN pada tahun 2021 menjadi sekitar 11 yen/kWh, lebih tinggi dari pada energi surya dan angin yang berada di angka 8-9 yen/kWh.

Suzuki memaparkan kecelakaan Fukushima merugikan negara dengan total biaya kecelakaan sekitar US$322 miliar hingga US$719 miliar menurut data dari Japan Center for Economic Research. Perhitungan pemerintah lebih rendah yakni US$74,3 miliar hingga US$223,1 miliar, karena belum memasukkan biaya disposal dari sisa bahan bakar radioaktif PLTN. Tidak hanya itu, limbah radioaktif dari PLTN Fukushima mengkontaminasi air, tanah dan makanan. Sementara itu, dari 35 ribu pengungsi (per April 2021) hanya 2,5 persen orang yang kembali ke kota terdampak seperti Kota Okuma dan 9,2 persen ke Kota Tomioka.

“Pembangunan PLTN perlu melakukan mitigasi dan kajian risiko secara menyeluruh, tidak hanya dari sudut pandang teknis namun juga sosial, ekonomi, politik dan etis. Selain itu, pemerintah perlu melibatkan institusi ilmiah yang independen untuk memberikan masukan sehingga meningkatkan kepercayaan publik,” kata Suzuki.

Ia menambahkan bahwa sesungguhnya PLTN ibarat obat keras yang memiliki efek samping yang kuat, yang sebaiknya tidak diminum jika tidak diperlukan.

MV Ramana, Professor dan Director of Liu Institute for Global Issues dari University of British Columbia, mengatakan era emas PLTN sudah lewat, sekitar 3 dekade yang lalu. Menurutnya, banyak faktor yang mempengaruhi menurunnya pembangunan PLTN diantaranya biaya pembuatan reaktor terlalu mahal dibandingkan harga tenaga surya dan angin yang terus menurun. Ramana menjelaskan inovasi Small Modular Reactor (reaktor nuklir yang dirancang dalam ukuran kurang dari 300 MW dan terdiri dari modul/bagian yang dapat dibangun terpisah) juga tidak mampu menyelesaikan semua masalah dalam satu desain.

“Butuh produksi ratusan bahkan ribuan reaktor kecil (SMR) untuk dapat menekan harga produksi (per MW) agar setara satu reaktor besar, yang pada kenyataannya reaktor skala besar saat ini juga tidak kompetitif secara ekonomi terhadap matahari atau angin,” kata Ramana.

Ramana memandang daripada membangun PLTN dengan segala resikonya sebaiknya menggunakan investasi tersebut untuk solusi berkelanjutan lainnya.

“Dua puluh tahun lalu, orang masih menganggap bauran energi surya dan angin yang melebihi 20 persen di jaringan akan membuatnya menjadi tidak stabil. Namun sekarang, jaringan dapat stabil bahkan dengan bauran 80-90 persen energi terbarukan dengan selebihnya mengandalkan teknologi penyimpanan energi (storage),” ujarnya.

Herman Darnel Ibrahim, anggota Dewan Energi Nasional (DEN), mengatakan tanpa nuklir pun Indonesia mampu mencapai netral karbon di tahun 2060 dengan memaksimalkan energi terbarukan, seperti tenaga air, panas bumi dan biomassa dan mengembangkan energi surya besar-besaran dengan kapasitas ratusan GW.

“Kondisi yang dibutuhkan untuk dapat memenuhi adalah penemuan teknologi yang sukses untuk penetrasi hingga 75% dari ke jaringan listrik, keberhasilan pengembangan penyimpanan energi yang lebih murah yang memungkinkan pengembangan Variable Renewable Energy (VRE) dengan kapasitas penyimpanan, serta Levelized Cost of Electricity (LCOE) energi surya dan angin dengan penyimpanan beberapa hari lebih murah daripada LCOE energi nuklir,” kata Herman.(RA)