JAKARTA – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) merilis daftar realisasi kinerja 15 besar Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) kontributor terbesar migas nasional. PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya yang menjadi operator di beberapa blok mendominasi daftar KKKS penyumbang lifting migas nasional. Sayangnya sebagian besar anak usaha Pertamina justru meleset dari target.

Berdasarkan data SKK Migas, ada tujuh dari delapan anak usaha Pertamina yang tidak mencapai target yang berkontribusi dalam 15 perusahaan teratas penyumbang lifting migas nasional.

Dwi Soetjipto, Kepala SKK Migas, mengatakan Pertamina melalui anak usahanya cukup besar mengalami penurunan lifting yang langsung berdampak kepada realisasi lifting nasional. Untuk lifting minyak ada satu anak usaha dan empat cucu usaha Pertamina tidak mencapai target, diantaranya PT Pertamina EP, Pertamina Hulu Mahakam, Pertamina Hulu Energi ONWJ Ltd, PHE OSES, dan Pertamina Hulu Sanga Sanga. Praktis hanya satu cucu usaha yang berhasil mencapai target, yakni Pertamina Hulu Kalimantan Timur.

“Lifting ada beberapa masalah, seperti misalnya di Blok Mahakam terjadi penurunan produksi secara alamiah lebih tinggi sehingga minus 15 ribu barel per hari (bph). Selain itu terjadinya pengeboran yang tidak sukses,” kata Dwi di Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (9/1).

Realisasi lifting Pertamina Hulu Mahakam sepanjang 2019 jauh dibawah target APBN 2019. Hingga 31 Desember rata-rata lifting 36,157 ribu bph atau hanya 71,1% dari targetnya 50,4 ribu bph. Realisasi tersebut masih kurang dari Work Plan and Budget (WP&B) yang disepakati dengan kontraktor yakni 36,32 ribu bph.

Beberapa masalah dialami di Mahakam, seperti decline rate yang lebih tinggi di akhir 2018, hasil bor yang tidak sesuai target, hingga keterlambatan PoP beberapa sumur.

Selain Hulu Mahakam, Pertamina EP memiliki target APBN 85 ribu bph tapi realisasinya hanya 82,1 ribu bph atau 96,7%. Tidak tercapainya lifting disebabkan beberapa masalah, seperti decline rate yang lebih tinggi dari prognosis, kemudian hasil beberapa kegiatan yang tidak sesuai ekspektasi.

PHE ONWJ realisasinya hanya 86% dari target. Hingga akhir tahun rata-rata lifting PHE ONWJ sebesar 28,451 ribu bph dengan target dipatok 33,09 ribu bph. Beberapa masalah yang dihadapi ONWJ antara lain mundurnya pelaksanaan kegiatan pemboran di awal tahun karena cuaca, permasalahan sumur YYA-1, dan permasalahan integrity.

Untuk PHE OSES, kata Dwi, mengalami beberapa masalah, seperti isu integrity pipeline dan downhole di awal tahun. Ini membuat lifting minyak PHE OSES mencapai 28,049 ribu bph atau 87,7% dari target APBN 2019 32 ribu bph.

Kemudian ada Hulu Sanga-Sanga dengan realisasi 10,102 ribu bph atau 81,6% dari target 12,377 ribu bph. Masalah yang dihadapi Sanga-Sanga, yakni baseline produksi 2019 yang tidak sesuai dengan prognosis.

Pertamina menempatkan Pertamina Hulu Kalimantan Timur yang mampu penuhi target yakni sebesar 11.433 ribu bph dari target 11,248 ribu bph atau 101,6% dari target.

Untuk lifting gas, anak usaha dan cucu usaha Pertamina juga mengalami beberapa kendala yang dialami oleh Hulu Mahakam, Pertamina EP, PHE West Madura Offshore (WMO) dan PHE ONWJ. Hanya PHE Jambi Merang yang berhasil mencapai target APBN 2019. Tidak tercapainya lifting gas, selain disebabkan masalah yang sama seperti pada lifting minyak, ada juga kendala pada pembeli gas.

Untuk mendorong pencapaian target produksi migas pada 2020, SKK Migas melakukan terobosan membangun sistem digital terintegrasi (Integrated Operation Center/IOC) guna mengawasi kegiatan usaha hulu migas di seluruh Indonesia. Melalui inovasi tersebut diyakini mampu memonitoring sehari-hari secara bg terkait operasi hulu migas sehingga memudahkan SKK Migas melakukan pengawasan produksi seluruh KKKS.

“Kami telah menerapkan beberapa hal untuk mengantisipasi target di 2020, seperti telah melakukan launching Integrated Operation Center. Melalui IOC, laporan kerja yang dilakukan KKKS akan kami kawal secara real time,” kata Dwi.(RI)