JAKARTA – PT Pertamina (Persero), badan usaha milik negara di sektor energi terintegrasi, memproyeksikan penurunan laba bersih perusahaan sepanjang 2019 jika dibandingkan dengan realisasi 2018. Penurunannya bisa mencapai US$ 400 juta.

Heru Setiawan, Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Resiko Pertamina, mengatakan untuk kinerja keuangan yang belum diaudit seluruhnya sepanjang 2019 untuk pendapatan (revenue) perusahaan mencapai US$ 52,4 miliar. Ini tentu menurun ketimbang realisasi 2018 yang mencapai US$ 57,9 miliar.

“Dilihat dari revenue, 2017 itu US$ 46 miliar, kemudian pada 2019 sebesar US$ 52,4 miliar. Ini penurunan dari 2018 yakni sebesar US$ 57,9 miliar,” kata Heru disela rapat dengar pendapat umum dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat, Jakarta, Senin (3/2).

Sementara dari sisi EBITDA juga turun dari 2018 yang sebesar penurunan dari US$ 9,2 miliar menjadi US$ 8,62 miliar. Hal itu membuat perkiraan laba bersih juga terkoreksi menjadi US$ 2,1 miliar dari realisasi tahun 2018 sebesar US$ 2,5 miliar.

Net income (laba bersih) penurunannya US$ 2,5 miliar menjadi US$ 2,1 miliar,” ujarnya.

Heru menegaskan catatan laba bersih tersebut belum termasuk dengan kompensasi Harga Jual Eceran (HJE) untuk BBM jenis Premium dan Solar yang bisa diklaim oleh Pertamina kepada pemerintah. Hal itu sudah diklaim Pertamina dan diberikan oleh pemerintah sejak tahun 2016 hingga 2018 lalu. Saat ini Pertamina masih menantikan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dijadwalkan rampung Maret 2020.

“Sebagai catatan di sini, angka 2019 itu adalah angka prognosa kami karena belum diaudit juga, jadi masih banyak asumsi maupu diskresi yang belum masuk ke dalam proses audit ini. Sementara itu 2017 dan 2018 sudah merupakan angka audit,” jelas Heru.

Dia menuturkan bahwa kinerja Pertamina sangat sensitif terhadap berbagai faktor eksternal utamanya adalah harga minyak dunia yang mempengaruhi Indonesia Crude Price (ICP) atau harga minyak Indonesia.

“Selalu mengacu kepada ICP karena sangat sensitif. ICP 2017 US$ 51,2 per barel, 2018 itu US$ 67,5 per barel, dan di 2019 ada penurunan US$ 62,3 per barel,” kata Heru. (RI)