JAKARTA – Para pelaku usaha yang tergabung dalam Indonesia Petroleum Association (IPA) mendukung target produksi migas yang dicanangkan pemerintah pada 2030 sebesar satu juta barel per hari (bph) minyak dan gas sebesar 12 ribu juta kaki kubik per hari (MMscfd). Namun ada persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dulu.

Marjolijn Wajong, Direktur Eksekutif IPA, mengatakan syarat tersebut adalah insentif bagi para pelaku usaha ditengah kondisi migas seperti sekarang. Secara global, akibat kondisi ekonomi dan harga minyak dunia kini perusahaan-perusahaan migas sudah jauh memangkas investasinya tidak hanya untuk tahun ini tapi juga tahun-tahun mendatang.

Di sisi lain industri migas Indonesia harus berkompetisi dengan berbagai penawaran yang diberikan negara lain agar perusahaan migas berinvestasi di wilayah mereka.

Menurut Marjolijn, jika tidak ada langkah pemberian insentif “radikal” maka jangan harap modal yang dibutuhkan untuk mengejar target mau masuk ke Indonesia.

“Di mata global prospek dan keekonomian harus bagus barulah bisa datang ke kita. Keekomian perlu insentif yang lebih besar dari yang tersedia sekarang, Saya dengar banyak insentif perlu ada yang lebih besar dan radikal agar bisa menang rebut uang terbatas lakukan aktivitas migas di Indonesia,” kata Marjolijn dalam talk show virtual, Jumat (20/11).

Marjolijn mengatakan target satu juta bph pada 2030 harus diakui sulit untuk direalisasikan. Bagi orang yang berada di luar industri migas memang 10 tahun terlihat lama, tapi bagi pelaku usaha waktu 10 tahun adalah waktu yang singkat untuk meningkatkan produksi dengan modal blok-blok migas tanah air yang telah tua dan belum ditemukannya cadangan migas big fish. 

Selain itu Marjolijn juga mengingatkan bahwa tidak mengejar lonjakan produksi minyak, tetapi ada batasan waktu dalam merealisasi target tersebut. Artinya, industri hanya memiliki waktu 10 tahun untuk mendongkrak produksi minyak.

Padahal, lanjut dia, kendala yang dihadapi industri untuk mengejar target tersebut tidak hanya aspek teknis, tetapi justru dominan aspek keekonomian.

“Apa bisa pemerintah keluarkan paket insentif baru untuk naikkan keekonomian proyek. Saya tahu untuk buat peraturan harus hati-hati dan butuh sinergi antar kementerian, tetapi waktu kita tidak banyak. Walaupun barang (potensi migas) ada, tetapi kalau perangkat yang membuatnya (diproduksikan) belum ada, ya mundur,” kata Marjolijn.

Adapun insentif radikal yang dimaksud Marjolijn di antaranya jaminan tidak adanya pajak tidak langsung selama masa kontrak migas guna memberikan kepastian apa saja yang diperoleh pelaku industri migas. Selain itu, insentif lainnya adalah pajak konsolidasi dan bagi hasil (split) yang dapat ditawar (biddable split).

“Kami sudah bicara sama pemerintah, kami sudah serahkan semuanya. Tidak ada indirect tax selama masa kontrak tidak hanya selama eksplorasi tapi selama masa kontrak. Lalu onsolidasi tax itu belum dilakukan, dan untuk wilayah kerja yang akan dilelang kenapa enggak pakai biddable split, suruh mengajukan splitnya. Ini cukup radikal,” ungkap dia.

Selain itu, untuk mengejar target gas sebesar 12 ribu MMscfd juga sangat sulit. Bahkan tidak akan tercapai apabila kondisi pasar atau konsumen gas serta infrastruktur masih seperti sekarang.

Menurut Marjolijn, target 12 ribu MMscfd yang dicanangkan juga belum memperhitungkan kesiapan pihak yang akan menyerap gas nantinya.

“Yang jelas 12 ribu MMscfd kelihatan tidak berdasarkan demand yang kita bisa proyeksikan ke depan. Artiya pemerintah ya harus ciptakan demand dengan infrastruktur yang selalu jadi masalah. Apa yang beda yang pemerintah mau lakukan? Ya bangun infrastruktur. waktu kita nggak banyak,” kata dia.

Marjolijn menegaskan investor pasti mau membantu pemerintah mencapai targetnya bahkan tidak perlu diberi tahu investor pasti akan langsung bergerak tapi harus dipenuhi dulu syaratnya. “Investor mau bantu asal persyaratan dipenuhi keekonomian, infrastruktur. Kalau semua dipenuhi nggak usah teriak-teriak semua (investor) bergerak sendiri,” ungkap Marjolijn.

Sementara itu Hadi Ismoyo Sekretaris Jendral Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) menuturkan sumber daya, Indonesia memiliki peluang untuk mencapai produksi 1 juta bph. Beberapa kegiatan perlu didorong untuk mencapai target itu seperti pengeboran sumur, optimasi, percepatan produksi lapangan marjinal, dan pengurasan minyak tahap lanjut (enhanced oil recovery/EOR).

Pemerintah harus memastikan berbagai kegiatan itu dapat dilakukan secara ekonomis lantaran pelaksanaan beberapa kegiatan sangat bergantung pada aspek fiskal yang merupakan wewenang pemerintah. “Kalau insentif fiskal ini tidak ada, tidak akan jalan (target 1 juta bph),” ungkap Hadi.

Beberapa perusahaan diketahui telah menyerahkan sejumlah proposal optimasi produksi ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang isinya berisi tambahan insentif fiskal dari pemerintah.

Persetujuan insentif dari pemerintah atas proposal tersebut akan menjadi bukti keseriusan pemerintah dalam mengejar target 1 juta bph yang ditunggu-tunggu oleh pelaku industri. “Keseriusan, itu yang harus dituntut pelaku dan masyarakat. Begitu proposal itu di-approve, tidak perlu teriak-teriak, semua kontraktor akan ramai-ramai mengajukan proposal peningkatan produksi,” kata Hadi.(RI)