JAKARTA – PT Pertamina (Persero) telah resmi menjadi pemegang saham mayoritas di PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI). Hal ini diperoleh setelah rampungnya restrukturisasi utang grup Tuban Petro pada akhir pekan lalu.

Sukriyanto, Direktur Utama Tuban Petrochemical Industries (TPI), mengatakan dengan selesainya restruksturisasi maka Pertamina bisa lebih leluasa untuk mengembangkan fasilitas pengolahan petrokimia yang dimiliki anak usaha TPI seperti TPPI, PT Polytama Propindo (PP), dan PT Petro Oxo Nusantara (PON).

“Jika kontrol TPPI tidak penuh pengembangan sulit dilakukan. Kalau di Tuban masih ada pemilik lama maka yang akan kami lakukan dibawah pengembangan akan ditentukan pihak sebelah, ex-debitur. Kalau sudah dikuasai penuh sudah tidak ada isu itu lagi,” ungkap Sukriyanto akhir pekan lalu di Jakarta.

Saat ini total kepemilikan saham Pertamina di TPPI mencapai 80,26% dengan rincian saham yang dimiliki Pertamina secara langsung 37,65% dan melalui TPI sebesar 42,61%.

Nicke Widyawati, Direktur Utama Pertamina,  mengatakan setelah menguasai TPPI, Pertamina langsung akan menjalankan rencana pengembangan fasilitas petrokimia tersebut yang terbagi dalam dua term, yakni medium dan long term. Dia menegaskan pengembangan TPPI akan dimulai pada tahun depan.

“Mulai 2020 ada medium, ada long term. Medium kami tambah kapasitas TPPI, jadi aromatik gasoline gasoil dari 46 ribu barel oil per hari (bph), jadi 55 ribu bph, Pertamax bisa 60 ribu bph – 65 ribu bph. Kemudian kedua produksi LPG juga ada, alokasi anggaran untuk membangun LPG di TPI,” jelas Nicke.

Rincian pengembangan TPPI yakni revamping platformer dengan Capital Expenditure (Capex) mencapai US$36 juta. Kemudian revamping aromatic dengan total biaya investasi US$144 juta. Lalu untuk unit LPG dengan investasi sebesar US$27 juta. Semuanya ditargetkan rampung pada 2023.

Untuk strategi jangka panjang pngembangan kilang yang sedang dilakukan oleh Pertamina saat ini akan diintegrasikan dengan pabrik petrokimia.

“Ini integrasikan bisnis yang ada dengan bisnis masa depan, yakni petrokimia. Kenapa TPPI pilihan? Karena teknologi TPPI flesibilitasbya baik. Bisa aromatik bisa di switch ke gasoline dan gasoil. Kilang Pertamina yang akan dibangun dan diupgrade nanti sama seperti ini. Ketika Electric Vehicle meningkat kita bisa switch ke Petrokimia. Karena itu kita masuk Pemegang saham di TPPI,” ungkap Nicke.

Nicke menegaskan peluang pasar bisnis petrokimia di Indonesia sekitar Rp 40 triliun – 50 triliun per tahun. Selain itu, bisnis petrokimia mempunyai margin lebih tinggi dibanding BBM.

“Pembangunan komplek industri Petrokimia akan lebih menjamin keberlanjutan bisnis perseroan, karena sesuai dengan trend bisnis masa depan,” ujar Nicke.

Integrasi petrokimia dan kilang juga akan meningkatkan efisiensi sehingga produk samping petrokimia dapat dimanfaatkan kembali oleh kilang baik untuk bahan bakar kilang itu sendiri maupun dapat menjadi produk BBM.

Nicke mengatakan restrukturisasi TubanPetro juga merupakan bagian dari kilang Pertamina yang mengutamakan aspek fleksibilitas (flexibility), di mana mode kilang bisa beralih baik mode petrokimia ataupun mogas. Hal ini membuat produksi kilang dapat menyesuaikan dengan permintaan pada saat beroperasi.

“Infrastruktur penunjang dan utilitas dapat juga dimanfaatkan secara bersama-sama dengan menurunkan biaya energi hingga 10% dan biaya personel turun 10% sehingga biaya operasional turun sampai 15%,” kata Nicke.

Langkah mengintegrasikan kilang TPPI untuk pengembangan industri petrokimia dilakukan Pertamina dengan melakukan aksi korporasi pembelian saham seri B TubanPetro yang merupakan induk usaha TPPI, senilai Rp 3,1 triliun, sehingga Pertamina saat ini menguasai saham mayoritas 51%.

“Aksi korporasi ini dimaksudkan untuk mengembangkan industri petrokimia nasional yang nantinya akan memberikan dampak bagi pengembangan industri turunannya di tanah air,” ujarnya.

Selain itu, dengan pasokan bahan baku yang terintegrasi antara satu kilang dengan kilang lainnya, diharapkan juga bisa meningkatkan efisiensi baik sisi pengeluaran operasional maupun pengeluaran modal, sehingga meraih keuntungan (profitability) yang maksimal. Dengan tingkat keuntungan yang maksimal, maka proyek-proyek kilang Pertamina mampu menjadi bisnis yang berkelanjutan (sustainability) ke depannya.

“Jadi jelas bahwa proyek kilang kami yang sedang berjalan akan menjadi bisnis yang berkelanjutan karena dapat menyesuaikan dengan kebutuhan pasar dan didukung integrasi baik sesama kilang maupun infrastruktur Pertamina lainnya,” ujar Nicke.

Pertamina sendiri akan mengembangkan pembangunan pabrik baru serta melanjutkan pembangunan komplek olefin dan polyolefin di kawasan kilang TPPI di Tuban. Dengan pembangunan tersebut, maka TPPI akan menjadi komplek petrokimia yang terintegrasi menghasilkan produk-produk aromatik dan olefin.

Pada saat yang sama, Pertamina juga sedang membangun kilang Tuban dengan investasi US$16 miliar, yang nantinya akan memiliki fasilitas produksi petrokimia dengan produk polypropylene sebanyak 1,2 juta ton per tahun, paraxylene 1,3 juta ton per tahun dan polyethylene 750 ribu ton per tahun.

“Pembangunan industri petrokimia nasional akan turut memperkuat neraca perdagangan, menghemat devisa dan mengurangi impor bahan baku dan produk petrokimia,” kata Nicke.(RI)