JAKARTA– Pemerintah Indonesia memberikan subsidi besar untuk dua jenis bahan bakar minyak (BBM), yaitu Solar dan Pertalite serta LPG kemasan 3kg yang pemanfaatannya untuk konsumen masyarakat bawah. Subsidi Solar sebesar Rp7.800 per liter dari harga beli masyarakat sebesar Rp5.150 per liter, Pertalite Rp4000-Rp4.500 per liter dari harga yang diterima konsumen Rp7.650 per liter. Sedangkan LPG 3 kg sebesar Rp12.450 per kg atau Rp33.750 per tabung dari harga yang diterima konsumen sebesar Rp20 ribuan per tabung.

Menurut Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, penentuan harga jual Solar- dan belakangan Pertalite yang menjadi BBM Penugasan- serta LPG 3 Kg adalah domain pemerintah. “Untuk Pertalite kemungkinan pertimbangan karena volumenya cukup besar jadi ada kehati-hatian dari Pemerintah untuk menaikkan harganya,” katanya Jakarta, Sabtu (9/4/2022).

Pertamina sebelumnya menyatakan harga Pertalite tidak naik alias tetap Rp 7.650 per liter, meski harga minyak mentah dunia terus melonjak akibat konflik politik antara Rusia dan Ukraina. Kebijakan tidak menaikkan harga Pertalite untuk menjaga stabilitas ekonomi dan daya beli, karena masyarakat banyak menggunakan Pertalite. “Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara yang berperan dalam mengelola energi nasional sangat mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat dalam penetapan harga produk BBM,” kata Fajriyah Usman, Vice President Corporate Communication Pertamina, belum lama ini.

Harga jual Solar, Pertalite dan LPG 3kg masih di bawah harga keekonomian. Menurut Komaidi, harga keekonomian BBM pada tiap-tiap negara bisa berbeda. Hal ini disebabkan perbedaan pada biaya pengolahan, biaya distribusi, biaya penyimpanan, margin usaha, dan pajak BBM pada masing-masing negara.

Harga keekonomian BBM adalah harga jual BBM yang telah mengakomodasi semua variabel pembentuk harga. Adapun variabel pembentuk harga jual BBM adalah biaya bahan baku, biaya pengolahan, biaya distribusi, biaya penyimpanan, margin usaha, dan pajak.

“Kenapa, misalnya, harga BBM di Malaysia lebih murah dibandingkan Indonesia, karena subsidi yang diberikan pemerintah terhadap warganya juga berbeda,” ujarnya.

Berdasarkan data, harga BBM di Indonesia termasuk sebagai salah satu yang termurah di Regional. Harga BBM Indonesia hanya tercatat lebih tinggi dibandingkan Malaysia karena pemerintah Malaysia memberlakukan kebijakan subsidi untuk BBM yang dijual di dalam negeri mereka.

“Untuk RON 95, Malaysia menetapkan Rp6.965 per liter, Indonesia setara Rp16.500. Lebih murah ketimbang Singapura Rp30.208, Thailand Rp19.767 per liter, Filipina Rp20.828 per liter, Vietnam Rp18.647 per liter, dan Kamboja Rp20.521 per liter,” katanya.

Harga BBM Indonesia menggunakan rujukan Permen ESDM No.20/2021 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Harga BBM RON 92 (Jenis BBM Umum) dihitung menggunakan formula biaya perolehan (bahan baku & pengolahan) + biaya distribusi + biaya penyimpanan +
margin usaha + PPN + PBBKB. “Berdasarkan formulasi tersebut harga keekonomian BBM RON 92 saat ini berada pada kisaran Rp 15.000 – Rp 17.000 per liter,”ujarnya.

Namun, Pertamina menetapkan harga jual BBM RON 92 atau Pertamax per 1 April 2022 sebesar Rp12.500 setelah hampir tiga tahun lamanya tidak mengalami penyesuaian. Kenaikan tersebut dipengaruhi sejumlah faktor, terutama harga minyak mentah dunia dan kurs dollar AS terhadap mata uang rupiah serta daya beli masyarakat. Padahal, beberapa pesaing Pertamina berkali-kali menaikkan harga, termasuk terakhir pada pertengahan pekan ini.

Pertamax adalah satu-satunya BBM RON 92 paling murah harganya saat ini. Sementara badan usaha lain kembali menaikkan harga BBM RON tersebut. Vivo misalnya, menaikkan Revvo 92 (RON) 92 menjadi Rp12.900 dan BP 92 (RON 92) yang dijual di SPBU BP-AKR Rp12.990. Adapun V-Power (RON 92) Shell dijual Rp16.500 per liter.

Sejak Pemerintahan Joko Widodo berkuasa pada Oktober 2014, harga BBM mengalami fluktuasi. Bahkan, dalam satu tahun kerap terjadi penyesuiana beberapa kali. Khusus Pertamax, penurunan terdalam terjadi pada 15 Mei 2016 yaitu menjadi sebesar Rp7.350 per liter dari harga sebelumnya 30 Maret 2016 yang ditetapkan Rp7.550 per liter. Sejak awal 2020 hingga akhir Maret 2022, Pertamina tak pernah menyesuaikan harga BBM nonsubsidi, termasuk Pertamax.

Hans Kwee, Analis Komoditas, mengatakan wajar bahwa harga BBM termasuk juga LPG, saat ini dalam tren naik karena kedua komoditas tersebut mengalami gangguan pasokan akibat geopolitik global. Sebagian besar kenaikan akhir-akhir ini karena perang di Ukraina dimana negara anggota NATO mengurangi pembelian gas dan minyak Rusia dan mencari sumber lain.

“Hal ini mendorong kenaikan harga. Dibandingkan China dan India harga BBM di kita lebih murah, kendati beberapa negara lain seperti Malaysia jauh lebih murah. Di Malaysia murah karena disubsidi pemerintahnya,” ujar Direktur Ekuator Swarna Investama.

Hans mengapresiasi sikap pemerintah dan Pertamina yang tidak menaikkan harga Biosolar, Pertalite, dan LPG 3 kg. Pasalnya, ketiga komoditas tersebut dikonsumsi masyarakat kelas menegah ke bawah dan dipakai untuk transpostasi publik dan barang dan jasa. “Bila tiga komponen ini naik, inflasi akan naik tinggi dan daya beli masyarakat kelas menegah ke bawah akan sangat terganggu,” ujarnya.

Terkait Pertamax yang dijual di bawah harga keekonomian, Hans menilai, BBM RON 92 tersebut tidak disubsidi. Harga keekonomian BBM tersebut lebih dari Rp16 ribu per liter. Pertamina terpaksa menjual rugi Pertamax di Rp12.500 karena kawatir pengguna BBM nonsubsidi itu pindah (shifting) ke Pertalite bila dijual dengan harga keekonomian. (RA)