JAKARTA – Indonesia menegaskan ambisinya untuk menjadi produsen baterai yang dibutuhkan untuk kendaraan listrik. Ini tidak lepas dari melimpahnya bahan baku utama pembuatan baterai berupa mineral nikel di Tanah Air.

Proyek hilirisai nikel untuk menghasilkan produk akhir baterai yang tengah diusung dikerjakan oleh konsorsium Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terdiri atas holding pertambangan MIND ID melalui PT Aneka Tambang Tbk (Antam), PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero).

Orias Petrus Moedak, Direktur Utama MIND ID, manyatakan holding tambang melalui Antam akan menangani sektor hulu atau penyedia bahan baku baterai sementara produk tengah (intermediate) hingga ke hilir akan dikelola oleh Pertamina dan PLN. Nantinya Ketiga BUMN akan membentuk perusahan baru PT Indonesia Batterai.

Saat ini BUMN melalui MIND ID mengusai 30,4% cadangan nikel di Indonesia, yang dimiliki oleh Antam dan PT Vale Indonesia Tbk (INCO) yang 20% sahamnya sudah resmi diakuisisi oleh MIND ID.

Menurut Orias, holding Indonesia Batterai tersebut nantinya akan menggandeng mitra dan membentuk Joint Venture (JV). Ada dua proyek hilirisasi nikel menjadi baterai yang akan dikerjakan konsorsium tersebut. Proyek tersebut rencananya akan terintegrasi dari hulu sampai hilir.

“Dari hulu ke hilir, dari tambang sampai pada batterai pack, untuk dua perusahaan calon mitra,”kata Orias dalam webinar pemanfaatan nikel yang digelar Selasa (13/10).

Saat ini, lanjut Orias ada dua calon mitra yang sudah dijajaki, yakni perusahan dari China dan Korea Selatan dengan total nilai investasi dari hulu hingga hilir untuk kedua proyek baterai tersebut mencapai sekitar US$12 miliar.

“Sekitar US$ 12 miliar, jadi ada yang US$5 miliar, ada yang US$7 miliar, tergantung size-nya. Sedang dibicarakan, mudah-mudahan bisa segera tercapai,” jelas Orias.

Produk baterai dari kedua proyek tersebut utamanya ditujukan untuk keperluan kendaraan listrik (Electric Vehicle/EV) dan untuk penyimpanan energi listrik (storage) khususnya dalam melengkapi pemanfaatan energi surya.

Orias menerangkan bahwa klaster EV baterai akan dibangun pabrik pengolahan nikel dengan metode High Pressure Acid Leaching (HPAL) dan Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF). Pembangunan pabrik rencananya berlokasi di Maluku Utara atau Konawe Utara, dengan estimasi investasi mencapai US$ 3 miliar.

Lebih lanjut dia menyatakan bahwa sumber pendanaan kedua proyek tersebut akan dipenuhi melalui ekuitas para pemegang saham serta dari pinjaman perbankan.

Prioritas pendanan dari perbankan masih dari domestik. Namun jika perbankan domestik tidak antusiasi maka pendanaan terpaksa akan diperoleh dari pinjaman global.

“Jangan sampai untuk mengembangkan ini (nikel menjadi baterai), perbankan tidak berpihak, itu akan sulit. Nanti mau nggak mau pinjam dari luar negeri. nanti jadi isu lain lagi kalau terlalu sering pinjam ke luar negeri,” kata Orias.

Dia menegaskan pengembangan baterai berbasis nikel ini harus juga ditopang oleh industri dalam negeri yang menyerap produk hilirisasinya. Karena jika tidak maka ekspor ke pasar luar negeri jadi jalan keluar ini tentu sama saja memberikan subsidi bagi pengembangan industri negara lain.

“Dari kami mengharapkan, apa yang dikerjakan BUMN menyediakan sampai ke baterai, disambut juga dari sisi industrinya. Ini PR besar supaya jangan berhenti sampai baterai. Yang memanfaatkan baterai juga diproduksi, misalnya kendaraaan, produksi di dalam negeri,” ungkap Orias. (RI)