JAKARTA – Aturan pelaksana Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara hingga saat ini tak kunjung disahkan. Padahal sebelumnya pemerintah melalui Ridwan Djamaluddin, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sering mengumbar janji pemerintah tengah menyusun tiga Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) baru, antara lain RPP tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara, RPP tentang wilayah pertambangan dan RPP tentang pembinaan dan pengawasan serta reklamasi pascatambang dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan dan akan selesai pada akhir tahun lalu.

Suyanto Londrang, Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), mengatakan implikasi dari belum adanya aturan turunan dari UU Minerba yang baru menyebabkan kegiatan usaha pertambangan di daerah jatuh bangun.

“Belum adanya aturan pelaksana UU Minerba membuat kegiatan usaha pertambangan di daerah maju mundur. Keadaan ini tentu membuat geliat ekonomi sektor pertambangan di daerah mengalami kelesuan” kata Suyanto, Selasa (26/4).

Menurut Suyanto, pemerintah telah “mengamputasi” kewenangan daerah, yang semula diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU No. 4 Tahun 2009), dimana kewenangan penerbitan izin pertambangan dapat dikeluarkan oleh pemerintah daerah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota, sesuai lokasi tambang itu berada. Hal itu terlihat saat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU No. 3 Tahun 2020) menghapus ketentuan Pasal 7 dan Pasal 8 dalam UU Nomor 4 Tahun 2009, yang mengatur terkait kewenangan pemerintah daerah dalam tata kelola pertambangan.

Sementara dalam Pasal 35 UU No. 3 Tahun 2020 mengatur secara tegas bahwa usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan dari pemerintah pusat.

“Pengaturan tersebut telah menimbulkan implikasi terhadap kewenangan daerah dalam menerbitkan perizinan di sektor pertambangan. Pemerintah daerah tidak lagi dapat memberikan izin kegiatan usaha pertambangan” kata Suyanto.

Meskipun begitu, Suyanto, mengatakan sebenarnya UU No. 3 Tahun 2020 tetap memberikan kewenangan kepada daerah terkait dengan urusan perizinan pertambangan di daerah. Pasal 35 ayat (4) UU No. 3 Tahun 2020 disebutkan,

“Pemerintah Pusat dapat mendelegasaikan kewenangan pemberian perizinan berusaha kepada Pemerintah Daerah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

“Pasal 35 ayat (4) UU No. 3 Tahun 2020 ini merupakan pintu masuk bagi aturan turunan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. Hingga saat ini aturan tersebut belum juga ada. Jika hal ini terus berlanjut maka bisa memunculkan ketidakpastian hukum dalam pengusahaan pertambangan minerba,” ujar Suyanto.

Situasi ini dapat menjadi preseden buruk bagi tata kelola pertambangan jika terus berlarut. Untuk mengatasi keadaan tersebut, diterbitkanlah Surat Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Nomor 742/30.01/DJB/2020 terkait Hal Penundaan Penerbitan Perizinan Baru di Bidang Pertambangan Minerba. Surat tersebut pada pokonya menyatakan bahwa Gubernur tidak dapat menerbitkan perizinan baru dibidang pertambangan mineral dan batubara dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diundangkannya UU Nomor 3 tahun 2020 atau sampai dengan terbitnya Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 3 Tahun 2020.

Kementerian ESDM kembali mengeluarkan surat melalui Surat Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Nomor 809/30.01/DJB/2020, yang pokoknya menyebutkan Gubernur sesuai dengan kewenanganya tetap dapat memproses penerbitan perizinan di bidang pertambangan mineral dan batubara selain perizinan baru dengan jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diundangkannya UU No. 3 Tahun 2020 atau sampai dengan terbitnya Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 3 Tahun 2020.

Suyanto mengungkapkan, setelah surat edaran nomor 809/30.01/DJB/2020 ini diterbitkan yang intinya Gubernur sesuai kewenangannya tetap dapat memproses perizinan, melalui Surat Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Nomor 1481/30.01/DJB/2020 terhitung sejak tanggal 11 Desember 2020, kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara beralih ke Pemerintah Pusat yang meliputi:
a.Pelayanan pemberian perizinan di bidang pertambangan mineral dan batubara;
b.Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan terhadap pemegang peizinan dibidang pertambangan minerba;
c.Pelaksanaan lelang WIUP mineral logam dan WIUP batubara;
d.Pemberian WIUP mineral bukan logam, WIUP mineral bukan logam jenis tertentu, dan WIUP Batuan;
e.Pemberian persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) Tahunan;
f.Pemberian persetujuan pengalihan saham pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP);
g.Kewenangan lainnya yang dilaksanakan berdasarkan UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan peraturan pelaksanaannya serta UU lain yang mengatur tentang kewenangan Pemerintah Daerah provinsi di bidang pertambangan mineral dan batubara.

Menurut Suyanto, adanya berbagai surat edaran tersebut membuat kegiatan usaha pertambangan di daerah semakin mengalami ketidakpastian. Surat yang pertama mengatur terkait penundaan penerbitan perizinan baru. Surat kedua mengatur terkait dengan penerbitan perizinan oleh Gubernur sesuai dengan kewenanganya tetap dapat memproses penerbitan perizinan dibidang pertambangan mineral dan batubara.

“Surat yang ketiga justru kembali menarik kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara beralih ke Pemerintah Pusat,” kata Suyanto.(RI)