JAKARTA – 26th UN Climate Change Conference of the Parties (COP26) telah usai dilaksanakan. Seluruh negara yang hadir sepakat untuk mencapai target 2050, yaitu nol emisi dan pengurangan karbon secara progresif pada 2030. Implementasi nyatanya adalah dengan menghentikan penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara secara bertahap dan memulai transisi ke energi ramah lingkungan.

Ketika COP26 berlangsung Indonesia bersama negara Asia Tenggara lainnya merupakan negara yang menjadi sorotan dunia pasalnya selain memiliki sumber pertambangan energi yang besar, Indonesia juga masih menggunakan batu bara dan minyak bumi sebagai sumber penghasil tenaga listrik. Apalagi saat ini Indonesia termasuk dalam lima negara Asia yang berinvestasi dalam 80% proyek baru PLTU global untuk mendukung pengembangan industri yang membutuhkan aliran listrik yang kuat.

“Kita perlu bersyukur atas kekayaan batu bara yang negara kita miliki. Batu bara menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi dan memberikan akses listrik yang ekonomis bagi perkembangan industri. Namun kesadaran yang saat ini tumbuh untuk mengurangi dampak negatif batu bara bagi bumi juga perlu kita perhatikan bersama,” kata Anggawira, Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi dan Batubara Indonesia (Aspebindo), Kamis (11/11).

Menurut Anggawira, yang juga tergabung dalam Komite Investasi Kementerian Investasi/BKPM, Indonesia menargetkan penggunaan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025 dan Nationally Determined Contribution (NDC) di 2030 menuju Net Zero Emission pada 2060. Sayangnya, investasi yang dilakukan di sektor energi terbarukan masih cukup minim dibandingkan dengan sektor energi lainnya. Padahal, untuk bisa meningkatkan perkembangan pembangkit listrik dari energi terbarukan Indonesia membutuhkan setidaknya Rp496 triliun.

Untuk meningkatkan investasi di sektor energi terbarukan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia kini tengah gencar memberikan kemudahan usaha bagi penanaman modal asing yang ingin mengembangkan industri energi terbarukan. Langkah nyatanya ditunjukan dengan lawatan untuk bekerja sama membangun pabrik baterai, pengelolaan nikel, dan juga pembangkit listrik tenaga angin dan surya. Baru-baru ini Indonesia juga mengantongi total komitmen investasi senilai US$44,6 miliar atau Rp 639 triliun dari Forum Bisnis Indonesia-Persatuan Emirat Arab (PEA).

“Faktor yang perlu kita pertimbangkan selanjutnya adalah pertumbuhan ekonomi. Transisi menuju energi bersih tidak boleh mengganggu pertumbuhan ekonomi yang saat ini tengah mengalami pemulihan akibat pandemi,” ujar Anggawira, yang saat ini juga menjabat sebagai Wakil Kepala Badan Ristek dan Inovasi Kadin Indonesia 2021-2026.

Ia menekankan, ketahanan energi menjadi salah satu indikator penting dalam keputusan investor dalam berinvestasi. Tarif listrik industri saat ini dinilai masih kompetitif dibandingkan negara tetangga, seperti Malaysia dan Vietnam. “Hal ini perlu dipertahankan agar Indonesia tetap seksi di mata penanam modal asing,” kata Anggawira.

Krisis energi yang terjadi di China, India, dan Eropa perlu menjadi pelajaran bagi Indonesia. Negara-negara tersebut telah lebih dahulu mengeluarkan kebijakan pengurangan penggunaan batu bara sebagai sumber energi.

Namun, kata Anggawira, dunia yang bergerak melewati pandemi rupanya mengejutkan kita semua dengan beban puncak listrik yang meningkat drastis sedangkan rantai pasok batu bara dan energi belum mampu menyuplai kebutuhan dengan cepat. Di Indonesia sendiri PT PLN (Persero) mencatat beban puncak mencapai rekor tertinggi semenjak tahun 2019 pada 13 dan 14 Oktober 2021.

Di China krisis energi memaksa diberlakukannya pembatasan penggunaan listrik sehingga beberapa industri di negara ekonomi terbesar kedua di dunia ini harus memangkas produksi. Tentu pemangkasan produksi dalam waktu panjang dapat menimbulkan risiko bagi pertumbuhan PDB dan rantai pasokan global.

“Kita tentu tidak ingin hal tersebut terjadi di Indonesia. Kita perlu mencari jalan tengah agar transisi energi tidak membahayakan pertumbuhan ekonomi,” ujar Anggawira.

Ia menyampaikan beberapa strategi yang dapat ditempuh Indonesia untuk mencari jalan tengah. Pertama, strategi Energy Supply Collaboration yaitu dengan menjalin komunikasi asosiasi pengusaha, khususnya yang bergerak di bidang pasokan energi dan batu bara, pemerintah, PLN, dan juga usaha pembangkit listrik swasta.

Menurut Anggawira, selama ini pemenuhan permintaan listrik dalam negeri sering kali menjadi perdebatan panas, karena harga dalam negeri untuk batu bara dinilairendah jika dibandingkan dengan harga ekspor. Meskipun Kementerian ESDM telah mengeluarkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO), masih ditemukan adanya penambang yang belum memenuhi ketentuan tersebut. Pun bagi PLN permintaan kenaikan harga beli untuk batubara dalam negeri yang diminta pemasok batu bara rasanya sulit dilakukan karena menaikan harga listrik justru dapat membuat rakyat menjerit

“Untuk itulah perlu dilakukan upaya duduk bareng, upaya untuk bekerjasama dan berkolaborasi dalam perumusan kebijakan dan ketentuan,” kata Anggawira.

Ia mengatakan, kolaborasi yang dibangun harus didasari kepemilikan dan kesadaran bersama akan pentingnya energi bagi pertumbuhan Indonesia. Kolaborasi yang dilakukan akan mendukung kesuksesan strategi kedua yaitu, Energy Investment Transition. “Kita perlu sadari, kesadaran akan dunia yang kian menuntut penggunaan energi bersih belum disadari semua pihak. Analisis saya kesadaran ini bermula dari minimnya dialog mengenai isu ini bagi beberapa pelaku usaha di bidang batu bara, khususnya yang berskala menengah. Kesadaran ini perlu ditingkatkan di ranah pengusaha, agar dapat mendukung upaya pemerintah,” ujar Anggawira.

Ia meyakini dengan tumbuhnya kesadaran urgensi transisi energi, pengusaha pemasok energi dan batu bara akan dengan senang hati ikut berinvestasi dan membangun energi terbarukan yang akan menjadi masa depan. Pengusaha pemasok energi dan batu bara perlu menyadari dunia bisnis saat ini merupakan bisnis yang tanpa batas dan tanpa garis finis (infinite) oleh karena itu untuk bisa bertahan pengusaha batu bara perlu menginvestasikan keuntungannya untuk mendukung energi terbarukan di Indonesia.

Pada akhirnya, menurut Anggawira, orientasi transisi energi di Indonesia perlu dilakukan Made In Indonesia. Artinya, selain mendorong investasi asing kita juga perlu mendorong investasi jangka panjang dari dalam negeri untuk menghentikan perubahan iklim.

“Kita perlu mengapresiasi kerjasama antar unsur yang terjalin baik sampai saat ini. Namun dalam perubahan jangka panjang kita perlu menghadirkan ekosistem transisi energi di Indonesia. Dimana pemerintah, pengusaha, dan masyarakat bekerja bersama-sama untuk menjaga bumi sekaligus memastikan pertumbuhan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat Indonesia,” kata Anggawira.(RA)