JAKARTA – Transformasi PT Pertamina (Persero) menjadi holding dinilai sebagai momentum tepat untuk merasionalisasi jumlah pekerjanya saat ini.

Herman Khaeron, Anggota Komisi VI DPR, mengatakan Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) energi terbesar sekarang tapi bukan berarti harus diikuti dengan jumlah pekerja yang terlampau banyak. Dengan  perubahan mendasar dalam struktur organisasi perusahaan, kata dia, seharusnya manajemen bisa juga mengkalkulsi jumlah pekerjanya.

“Dengan pembentukan subholding sepertinya memang perlu penyesuaian,” kata Herman, kepada Dunia Energi, Minggu (28/2).

Namun, masalah tenaga kerja adalah isu yang sensitif untuk itu kajian mendalam harus terlebih dulu dilakukan manajemen. “Tentu perlu kajian mendalam terkait apakah kelebihan  manpower atau kegemukan atau telah sesuai dengan beban kerja,” ungkap Herman.

Dalam laporan keuangan perusahaan 2019 terungkap bahwa dari total 15.297 pekerja Grup Pertamina, sebanyak 13.738 adalah pekerja permanen (PWTT) dan 1.559 pekerja kontrak (PWT). Jumlah PWTT dan PWT turun dibandingkan 2018, yaitu 13.660 dan 1.636 orang. Untuk 2017, pekerja PWTT mencapai 88 persen dengan 13.406 orang dan PWT sebanyak 12 persen, yaitu 1.836 orang.

Mayoritas adalah pekerja tetap Pertamina berada di Level 4, yaitu staf atau setara yaitu 12.560 orang, Level 3 (manajer dan setara) sebanyak 952 orang dan 196 pekerja di level 2 (vice president atau setara) serta hanya 30 orang pekerja saja yang berada di level 1, yaitu posisi senior vice president atau setara).

Fahmy Radhi, Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) sebelumnya mendukung adanya penyesuaian jumlah pekerja Pertamina. Menurut dia, salah satu yang membuat Pertamina “gemuk” seperti sekarang adalah saat menerima alih kelola blok-blok terminasi.

Menurut Fahmy, jika dibiarkan terus membengkak justru akan terus membebani perusahaan sehingga. Pertamina harus bisa lebih selektif dalam memilih para pekerjanya.

Dia mencontohkan saat terjadi merger pembentukan Bank Mandiri, tidak semua pekerja bank yang disatukan ikut bergabung. Ini yang bisa dilakukan Pertamina.

“Apa boleh buat Pertamina harus berani. Mereka harus seleksi ulang. Pengalaman merger Bank Mandiri dengan menyeleksi ulang, bisa digunakan Pertamina,” ungkap Fahmy. (RI)