JAKARTA – Panas bumi digadang-gadang sebagai energi masa depan di Indonesia menggantikan energi fosil terutama batu bara unutk memenuni kebutuhan listrik nasional. Namun sejak awal pengembangan hingga kini ada satu masalah besar yang tidak kunjung menemukan titik terang, yakni formula penetapan harga jual beli listrik panas bumi.

Priyandaru Effendi, Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API), mengungkapkan pelaku usaha mengapresiasi upaya pemerintah dalam rangka siapkan berbagai insentif untuk pengembangan panas bumi. Namun menurutnya itu saja tidak cukup karena pangkal masalahnya ada pada penetapan harga jual listrik ke PLN sebagai satu-satunya offtaker listrik panas bumi.

“Sampai sekarang pemerintah masih memformulasikan strategi pengembangan panas bumi di Indonesia. Terutama terkait penetapan harga yang mempengaruhi keekonomian. Upaya pemerintah untuk menimalisir harga sangat penting,” kata Priyandaru dalam Digital Indonesia InIternational Geothermal Convention (DIIGC) 2021, Selasa (21/9).

Priyandaru mengingatkan pada dasarnya pelaku usaha tidak mau dikatakan selalu menuntut harga listrik yang dijual seitinggi-tingginya tapi karena risiko dalam kegiatan operasi panas bumi membuat harga listrik sesuai dengan risikoyang diambil para pelaku usaha. Dia meminta ada formulasi harga listrik panas bumi yang adil untuk semua pihak.

“Harus ada pembedaan ekonomi dan juga harus benar-benar memperhatikan investor dan buyer. Kami terima kasih telah dapat insentif dari pemerrintah,” ungkap Priyandaru.

Sebenarnya pemerintah telah melakukan satu hal baru dalam rangka menekan risiko dalam kegiatan panas bumi terutama pada fase eksplorasi. Namun itu baru dilakukan dan terlihat masih dalam taraf ujicoba.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) baru saja melakukan kegiatan eksplorasi panas bumi di pada prospek Cisolok-Cisukarame di Desa Sirna Rasa, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi.

Pengeboran eksplorasi panas bumi merupakan bagian dari quick wins program eksplorasi panas bumi oleh pemerintah (government drilling). Hal ini adalah upaya menurunkan risiko hulu sehingga diharapkan dapat meningkatkan keekonomian proyek PLTP dan menambah daya tarik investasi di sektor energi baru dan terbarukan dengan harga yang semakin kompetitif.

Saat ini, pemanfaatan energi panas bumi sebagai pembangkit listrik sebesar 2.175,7 Megawatt (MW) atau 9,2%.

Priyandaru sebelumnya juga pernah mengatakan program government drilling memiliki cita-cita baik untuk mengurangi risiko yang biasa ditanggung pengembang panas bumi. Tapi jika hanya cara itu yang ditempuh maka strategi tersebut dinilai kurang tepat. Salah satu tantangan utama yang nantinya akan timbul adalah dari sisi anggaran dana untuk melakukan pengeboran itu sendiri.

Menurut dia, jika niat pemerintah mau mempercepat pengembangan panas bumi maka ada cara lebih mudah adalah dengan mempercayakan seluruh kegiatan pengembangan panas bumi kepada pelaku usaha. Tapi syaratnya pemerintah juga harus adil membuat proyek panas bumi bisa terpenuhi secara keekonomian.

“Jangan semua pemeritah, kalau mau cepat ya badan usaha juga dilibatkan.Yang penting keekonomian, kalau sudah terepenuhi badan usaha pasti akan kerjakan dengan cepat,” kata Priyandaru.(RI)