JAKARTA – Pemerintah harus matangkan rencana untuk mendorong penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) khususnya PLTS Atap secara masif. Pasalnya dengan PLTS Atap ada beberapa konsekuensi yang harus diterima. Masalahnya konsekuensi tersebut berhubungan juga dengan target-target pemerintah.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengungkapkan pemerintah telah mengakui dengan masifnya pembangunan PLTS akan berdampak pada menurunny konsumsi gas untuk pembangkit.

“Saya kira ini yang perlu ditimbang ulang oleh pemerintah. Dalam kajian kami ditemukan ada sejumlah potensi dampak yang perlu diantisipasi,” kata Komaidi kepada Dunia Energi, Kamis (9/9).

Selain itu, masifnya PLTS telah memberikan dampak terhadap berkurangnya rencana konsumsi untuk listrik.

“Ini juga tidak sejalan dengan target 1 juta barel dan target produksi gas pemerintah,” ungkap dia.

Kemudian menurut Komaidi PLTS sejauh ini komponen TKDNnya rendah. “Sehingga kalau dipaksakan masif nilai tambah ekonominya bukan Indonesia yang menikmati tapi negara produsen panel surya yang kita impor,” tegas Komaidi.

Dia menjelaskan jika melihat data PLN 2019 biaya pembangkitan PLTS mencapai kisaran Rp 11.000 per kWh. Sementara pada periode yg sama BPP Listrik Nasional hanya kisaran Rp 1000 per kWh

Menurut Komaidi dari sejumlah data tersebut tidak ditemukan basis yang kuat dari pemerintah untuk mendorong PLTS menjadi masif. Sehingga seperti terkesan dipaksakan.

“Setidaknya dari perpektif makro ekonomi dan mikro bisnis kelistrikan juga tidak ditemukan basis yang kuat,” ungkap Komaidi.

Jika PLTS Atap nanti sudah masif digunakan, minimal di pulau Jawa akan ada konsekuensi baru yakni berkurangnya penggunaan pembangkit lain. Selama ini ada dua jenis pembangkit yang jadi penopang utama pemasok listrik di Jawa Bali yakni Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) serta Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG). Kementerian ESDM memilih pembangkit listrik bertenaga gas yang akan diganti nantinya dengan PLTS Atap.

Rida Mulyana, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, mengatakan apabila PLTS Atap nanti masuk ke sistem PLN dan tidak diikuti dengan penambahan demand listrik yang tinggi maka mau tidak mau akan ada pembangkit yang dimatikan.

“Tentu saja kalau demand tidak tambah tapi dengan mengurangi pembangkit yang ada. Dalam hal ini yang paling mungkin ada dua yang berbasis gas dan batu bara. Yang paling gampang dari sisi ekonomi dan teknis yakni mengurangi pembangkit listrik berbasis gas yang melalui pipa, LNG atau CNG,” kata Rida.

Berdasarkan kajian Ditjen Ketenagalistrikan, untuk PLTS kapasitas 1 Gigawatt (GW), ada pengurangan konsumsi gas sebesar 62,788 MMBTUD, atau 7% dari total pemakaian gas per hari untuk pembangkitan listrik. “Itu di wilayah Jawa Madura Bali,” tukas Rida.