DESA Telaga Said, Kecamatan Sei Lapan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, sekitar 110 km barat laut Medan, Ibu Kota Sumatera Utara. Berjarak sekitar 24 kilometer dari pusat kota Pangkalan Brandan, arah barat menuju Aceh timur terdapat sumur minyak pertama di Indonesia, Telaga Tunggal.

Untuk sampai ke lokasi melewati jalan bergelombang tanpa aspal dan melalaui perkebunan karet dan sawit. Jalanan sepi, tak banyak kendaran atau masyarakat yang lalu lalang kecuali kendaraan yang mengangkut hasil karet dan sawit.

Sebelum sampai ke lokasi, kita akan melewati sebuah tugu peringatan 100 tahun perminyakan Indonesia. Tugu setinggi dua meter dengan balutan marmer hitam terdapat tulisan “Telaga Tunggal 1885-1985”.

Tugu tersebut diresmikan pada 4 Oktober 1985 oleh Ir Suyetno Patmokismo, Pimpinan Umum Daerah Pertamina Sumatera Bagian Utara. Tugu ini menandakan menuju lokasi tidak lama lagi.

Tetapi tantangan perjalanan masih cukup tinggi. Setelah sekitar 30 menit, melewati jalanan berliku, tanpa aspal dan berdebu, sebuah plang putih informasi tertulis, “Di sini telah dibor sumur penghasil pertama di Indonesia. Nama Sumur Telaga Tunggal. Ditajak 15 Juni 1885. Kedalaman 121 meter. Hasil minyak 180 barrel perhari dari lima lapisan batu pasir dengan formasi baong. Lapangan ditinggalkan tahun 1934.”

Tak jauh dari plang putih yang dihimpit pohon sawit, sebuah kepala sumur berada. Inilah sumur minyak Telaga Tunggal. Sumur bersejarah ini berada dan dikelilingi pohon-pohon sawit. Rembesan dan tetesan minyak sesekali keluar.

Tak jauh dari sumur Telaga Tunggal, diantara pohon-pohon sawit yang berusia uzur, ratusan penambang tradisional mencoba peruintungan menambang minyak bumi, pada kedalaman tak lebih dari 100 meter.

Telaga Tunggal sepertinya sepi perhatian, padahal sejarah perminyakan di Indonesia dimulai dari sini. Telaga Tunggal harusnya bisa menjadi wisata edukasi tentang jejak minyak bumi di Nusantara.

Kisah Telaga Tunggal berawal pada 1880 saat Aeilko Jans Zijker menemukan sumur minyak bumi pertama di Indonesia. Aeilko merupakan seorang ahli perkebunan tembako pada Deli Tobacco Maatschappij, yang baru saja pindah dari Jawa ke Sumatera Timur.

Saat melakukan inspeksi, ia menemukan genangan air bercampur minyak bumi. Sampel minyak tersebut kemudian dibawa ke Batavia untuk dianalisis. Hasilnya, daerah tersebut memiliki kandungan minyak sebesar 59 persen. Pada 1882, Zijker, bertolak ke Negerik Belanda, mencari dan mengumpulkan dana dari teman-temannya untuk kebutuhan kegiatan eksplorasi minyak di wilayah Langkat.

Setelah mendapatkan cukup dana, perizinan pun diurus. Setahun kemudian, pada 1883, ia mendapatkan konsesi seluas 500 bahu (3,5 km persegi) dari Sultan Lahat saat itu, Sultan Musa. Setelah mendapatkan izin konsesi, kegiatan pengeboran pun dilakukan.

Pada 17 November 1884, setelah lebih kurang dua bulan melakukan pengeboran, minyak yang diperoleh sekitar 200 liter, masih jauh dari espektasi.

Mengharapkan minyak yang didapatkan justru semburan gas bercampur air yang cukup kuat, membuat kegiatan pengeboran terpaksa dihentikan. Tak patah arang, kegiatan pengeboran dialihkan lokasinya ke wilayah sebelah timur. Beruntung, konsesi yang diberikan Sultan Musa cukup luas, meliputi wilayah pesisir Sei Lapan, Bukit Sentang sampai ke Bukit Tingi, Pangkalan Brandan. Sehingga bisa mendapatkan titik pengeboran yang lebih banyak jumlahnya.

Selanjutnya, pengeboran dilakukan di desa Telaga Said. Pengeboran di lokasi ini sedikit kesulitan karena struktur tanah yang lebih keras dibandingkan di tempat sebelumnya. Usaha mendapatkan minyak bumi di Telaga Said, mulai menemukan titik cerah ketika pada kedalaman 22 meter, dalam waktu 48 jam kerja minyak yang diperoleh sudah mencapai 1.710 liter. Tidak berhenti pada kedalaman tersebut, sumur terus diperdalam. Saat mata bor mencapai kedalaman 31 meter, minyak yang dihasilkan berkali lipat jumlahnya mencapai 86.406 liter.

Pada 15 Juni 1885, ketika mencapai kedalaman 121 meter, tetiba muncul semburan kuat gas dari dalam sumur beserta minyak dan material lainnya. Sumur tersebut kemudian dinamakan dengan Telaga Tunggal I. Penemuan minyak di Telaga Tunggal I ini menjadi catatan sejarah penting penemuan minyak pertama di Nusanatara.

Tahun 1890 Zijker mengalihkan konsesinya ke NV Koninklijke Nederlandsche Petroleum Maatschappij (KNPM). Zijker meninggal mendadak pada Desember 1890 di Singapura. Kepemimpinan perusahaan digantikan oleh De Gelder yang berkantor di Pangkalan Brandan.

Agar kegiatan eksploitasi minyak dilakukan secara terintegrasi, maka fasilitas untuk kegiatan di hilir dibangun juga, maka pada 1892, kilang minyak di Pangkalan Brandan dibangun. Pada 1898, tangki-tangki penimbunan dan fasilitas pelabuhan dibangun di Pangkalan Susu. Minyak mentah yang dihasilkan dapat diolah terlebih dahulu sebelum dikapalkan. Pelabuhan Pangkalan Susu merupakan pelabuhan ekspor minyak pertama di Indonesia.

Penemuan minyak di Telaga Tunggal di Indonesia berjarak 26 tahun dari penemuan sumur minyak pertama di dunia di Titusville, Negara bagian Pennsylvania, Amerika Serikat pada 27 Agustus 1859 yang diprakarsai oleh Edwin L. Drake dan William Smith dari Seneca Oil Company.

Nama Aeliko Janszoon Zijlker pun tercatat dalam Sejarah Pertambangan dan Industri Perminyakan Indonesia, sebagai penemu sumur minyak pertama dalam sejarah perminyakan di Indonesia. Telaga Tunggal I itu sendiri akhirnya akhirnya berhenti operasi pada 1934. Ketika ditinggalkan pada 1934, jutaan barel minyak sudah berhasil dikeluarkan dari bumi Langkat melalui Sumur Telaga Tunggal. Beberapa sumur lainnya juga ditemukan di sekitar areal Telaga Tunggal I, namun juga sudah ditinggalkan sejak lama.(Alamsyah Puasaba)