JAKARTA – Pemerintah dinilai bisa tetap pada pendirian untuk merubah skema pengembangan Blok Masela dari offshore menjadi onshore. Jika biaya pengembangannya mau terus diefesiensikan, pemerintah juga sebaiknya memberikan insentif.

“Sepanjang yang saya tahu, onshore memerlukan insentif ekonomi lebih. Solusi jalan tengahnya adalah tetap onshore, tapi harus dengan insentif agar keekonomiannya masuk. Dengan begitu proyek tetap jalan,” kata Pri Agung Rakhmanto, Pengamat Migas dari Universitas Trisakti kepada Dunia Energi, Senin (1/4).

Nasib pengembangan Blok Masela kembali dipertanyakan menyusul tidak kunjung disetujuinya revisi rencana pengembangan (Plan of Development/PoD) oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan. Masih tingginya biaya yang diajukan Inpex Corporation menjadi alasan utama pemerintah menolak proposal revisi PoD.

Wacana yang berkembang sekarang ada skema onshore menjadi biang keladi mahalnya biaya pengembangan Masela, jika dibandingkan dengan skema sebelumnya yakni offshore.

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) sebelumnya meyakini revisi PoD bisa rampung pada awal Februari 2019. Namun hingga kini ternyata pembahasannya masih alot. Padahal SKK Migas juga telah mendatangkan pakar khusus dari Amerika Serikat untuk menilai kewajaran biaya yang dibutuhkan dalam pengembangan proyek Masela.

Dwi Soetjipto, Kepala SKK Migas, mengatakan permasalahan biaya masih menjadi salah satu poin utama yang dievaluasi. Pemerintah terbuka untuk memberikan insentif, namun biaya pengembangan seharusnya tidak terlalu tinggi jika sudah diberikan insentif.

“Pemerintah sesungguhnya berkeinginan supaya ini segera jalan. Tetapi kembali lagi, kalau misalnya dengan belanja modal yang masih over, tinggi, kami tidak bisa memberikan insentif yang besar kepada investor. Sewajarnya saja,” kata Dwi.

Pri Agung menambahkan, pemerintah harus segera mengambil keputusan kelanjutan Blok Masela agar tidak kehilangan momentum. Pasalnya, investor pasti juga memiliki jadwal sendiri dalam kebijakan korporasinya. Monentum dalam artian investor bisa pull out, jika mempunyai opportunity di tempat lain yang lebih pasti dan menjanjikan. “Jangan sampai lewat momentumnya,” tukas Pri.

Dalam Final Investment Decision (FID), suatu perusahaan multinasional selalu melihat banyak aspek, salah satunya waktu untuk pasar gas internasional ke depan

“Masela, kalau ditunda-tunda terus, produksi akan molor. Nanti keburu pasar LNG atau gas alam jenuh karena produksi dari tempat lain masuk . Sederhananya, semakin ditunda kan berarti juga semakin mundur manfaat ekonomi yang bisa dirasakan. Time value of money,” tandas Pri.(RI)