HARAPAN agar pengembangan energi terbarukan sebagai sumber energi primer tampaknya masih jauh panggang dari api. Alih-alih kapasitas pembangkit  bertambah signifikan, pengembangan energi terbarukan malah belum optimal. PT PLN (Persero), badan usaha milik negara di sektor ketenagalistrikan, tampak lebih asyik mempertahankan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara maupun minyak dan gas bumi. Padahal, keberadaan bahan bakar fosil itu lambat laun bakal terus menyusut.

Di sisi lain, ada yang potensial menambah kapasitas terpasang pembangkit listrik di Tanah Air, yaitu energi terbarukan. Sayang, pengembangan terkesan sangat lambat. Ironisnya, pengembang energi terbarukan malah bukan PLN sebagai pionir, namun pembangkit listrik swasta (Independent Power Producer/IPP).

Mengapa pengembangan pembangkit berbasis energi terbarukan di Indonesia demikian lambat? Bukankah pada 2025 pemerintah menargetkan tingkat bauran energi primer dari energi terbarukan mencapai sekurangnya 25%? Apa kendala implementasi pengembangan energi terbarukan tersebut?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, wartawan Dunia Energi, Alfian Tanjung dan Yurika Indah Prasetianti mewawancarai Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma di Jakarta, belum lama ini. Berikut petikannya:

 

Pembangkit listrik tenaga panas bumi unit 4 area Kamojang di Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung, Jawa Barat yang dikelola PT Pertamina. (foto: dokumentasi Dunia-Energi)

Bagaimana Anda melihat kemajuan proyek energi terbarukan selama ini?
Sebagian besar proyek energi terbarukan itu proyek lama. Beberapa waktu lalu kami diundang Kementerian ESDM untuk melihat kembali kemungkinan soal harga apakah revisi permen atau apa. Itu memang disampaikan PLN, praktis dalam 2-3 tahun, tidak ada kemajuan dari sisi proyek-proyek yang dijalankan yang mengacu kepada Permen ESDM Nomor 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. PPA baru 2017, proyeknya jauh dari sebelum itu. Saya kira ada 70 PPA yang ditandatangani, tapi kemudian pendanaan tersendat salah satunya karena tidak bankable.

Apa persoalannya?
Keluhan dari para investor kalau sulit mendapat pendanaan dari perbankan akan susah mengembangkan energi terbarukan. Saya kira ada juga analisis yang dilakukan beberapa konsultan, seperti McKenzie dan Eurochamp. Mereka melihat bahwa perlu ada upaya mengkaji kembali permen. Saya kira usulan-usulan untuk mengkaji Permen Nomor 50 itu sudah sering dilakukan. Saya tidak tahu apakah pemerintah akan merevisi atau tidak, tapi kelihatannya pemerintah cukup serius membahas itu. Saat pertemuan dengan Kementerian ESDM semua asosiasi membahas tentang keekonomian, tapi itu hak pemerintah menetapkan berdasarkan keekonomian yang berkeadilan. Yang sekarang debatable itu soal berkeadilan. Di UU, berkeadilan itu disebutkan bahwa dalam menetapkan harga energi itu harus mempertimbangkan faktor lingkungan, externality, biaya untuk mendapatkan atau menggantikan sumber energi yang selama ini tidak diperhitungkan. Kalau energi fosil akan habis, anak cucu kita tidak bisa menikmati. Kalau tidak bisa menikmati, yang salah siapa? Yang salah kan orang-orang yang menggunakan energi itu. Mereka tidak mencadangkan.

Apa saran METI?
Kami sudah mengusulkan supaya energi fosil tidak habis, energi terbarukan harus ditingkatkan. Bagaimana meningkatkannya, dengan kebijakan. Salah satu di antaranya adalah regulasi harus memberikan daya tarik kalau mau mengundang investor. Kalau orang mau investasi harus ada kepastian uangnya kembali atau tidak. Nah, kembali itu diukur dari mana? Dari IRR kan kalau bicara keekonomian. IRR itu yang harus disepakati oleh pemerintah, berapa margin yang harus diberikan kepada investor, sehingga mereka mau agar perbankan mau membiayai proyek energi terbarukan. Kemudian perlu juga ada kepastian bahwa regulasi itu tidak cenderung berubah setiap saat. Kalaupun berubah ada kepastian bahwa tidak berdampak pada orang-orang yang sedang melakukan kegiatan.

Selanjutnya, bagaimana kita menyiapkan SDM. Jangan terus mengundang orang lain dan kita hanya menjadi penonton. Kalau menjadi penonton saja nanti akhirnya reluktansi semakin tinggi. Ini perlu proses edukasi kepada masyarakat dan ekspertis sehingga mereka betul-betul menjadi orang yang mampu menangani energinya sendiri. Kalau sekarang kan kita punya SDM luar biasa. Indonesia punya demografi luar biasa. Kalau demografi tidak dimanfaatkan dengan baik pasti frustasi, yang terjadi pasti macam-macam aktivitas yang negatif, tidak produktif, dan tidak konstruktif. Ini perlu ditangani pemerintah dengan baik. Kemudian teknologi, kalau kesempatan banyak tapi tidak diantisipasi, nanti malah menjadi pusat penjualan teknologi orang lain.
Saya kira ini perlu komitmen, regulasi itu kan komitmen. UU itu kan komitmen. Untuk melaksanakan regulasi yang sudah menjadi komitmen itu kan perlu tidak hanya sekadar tertulis tapi juga implementatif.

Bagaimana realitasnya?
Faktanya tidak berjalan, pasti ada sesuatu yang perlu dipertanyakan. Semestinya sekarang sudah bisa mendekati ke 23%. Pasti ada sesuatu. Ini yang menjadi tantangan, siapapun pemerintahnya. Ini yang harus dipikirkan secara bersama-sama. Sekarang kalau kita lihat di KEN, semua energi terbarukan menjadi andalan, ada enam kluster. Tidak ada di dunia ini punya semuanya energi terbarukan. Kita punya semua, enam-enamnya. Kalau disebutkan kita kaya akan energi terbarukan, iya, tapi tidak dalam artian kuantitas. Tapi bagaimana ini ditingkatkan dari sisi jumlah klaster yang ada kemudian bisa optimum pemanfaatannya.

Kita punya laut, angin, matahari, bioenergi – biofuel – biogas – sampah. Kita negara yang paling produktif akan sampah, ini bisa dijadikan energi. Hanya sekarang yang salah pemahaman dari pemerintah ketika mau dikonversi menjadi energi. Pemerintah daerah minta ada pendapatan asli daerah juga. Sebetulnya jangan pikir soal PAD, pikirkan saja soal pengelolaan sampah. Kalau tidak dimanfaatkan untuk energi, energi ini hanya additional value saja. Kalau dikelola dengan baik pasti ada nilai tambahnya. Ada dua, sampahnya dikelola dengan baik dan bisa menjadi energi. Kalau sekarang, ketika mau menggunakan sampah untuk energi maka harus ada PAD, kalau tidak demikian Pemda tidak mau keluar biaya. Jadi serba salah. Kalau dilakukan semuanya oleh swasta, bisa saja. Semua beban ke swasta, dan menjadi harga energi.

Artinya, cara berpikir investor itu sederhana?
Benar, cara berpikir investor simpel. Dimana ada daya tarik, kalau investasi ada pengembalian yang bagus, pasti akan lari kesitu . Kalau kita mau compete, tinggal compete. Kalau kita melihat misalnya banyak industri yang ada di Indonesia direlokasi, pertanyaan besarnya kenapa? Ini ada apa? Indonesia sebetulnya masih menarik, potensi besar, demand besar, sumber daya besar. Tapi pertanyaan besarnya, kenapa orang tidak investasi di sini? Energi baru, barunya ini tidak hanya nuklir. Tapi di kita didefinisikan sebagai nuklir. Kalau nuklir itu sebetulnya energi kuno, bukan baru. Karena kita belum pakai nuklir maka disebut baru. Di dalam KEN itu sampai 2029 itu belum masuk persentase nuklir, baru masuk setelah 2030.

Mengapa mesti ada limitasi setelah 2030?
Ya, karena minyaknya semakin berkurang, batu bara terbatas. Kekurangan itu disuplai dari nuklir. Hanya ke pemikiran lebih ke arah itu. Jadi disebutkan bahwa sampai 2025 nuklir itu opsi terakhir. Kenapa harus nuklir yang dipercepat, kenapa bukan energi terbarukan saja yang dipercepat. Nuklir itu prosesnya lebih lama lagi. Nuklir butuh waktu 10 tahun, akseptabilitas belum tentu. Muria sudah mulai tahun 80-an, tapi akseptabilitas dari masyarakat belum ada. Dengan terjadinya peristiwa di reaktor Fuskushima, Jepang, negara-negara lain jadi berpikir ulang soal nuklir. Mengapa kita harus berpikir EBT tidak tercapai, kenapa tidak beralih ke nuklir saja. Kenapa tidak dibalik saja pertanyaannya? Kan pengembangannya sama saja. EBT ada yang 2-3 tahun, biomassa dan PLTA juga. Kalau dilihat target 2025, ya bisa saja dilakukan upaya-upaya khusus. Misalnya mau dipasang rooftop. Kalau terjadi besar-besaran pemasangan itu bisa saja mengubah semuanya. Tetapi persoalannya adalah ketika keluar Permen 48 Tahun 2018. Itu tidak memberikan daya tarik terhadap pemasangan rooftop.

Di mana tidak menariknya Permen 48/2018?
Para pengembang mengusulkan untuk revisi Permen supaya memberikan daya tarik. Kalau kita pasang PLTS kan susah cari lahannya. Kalau rooftop kan sudah pasti bisa di atap-atap rumah. Kalau itu digerakkan, Australia berhasil menggerakkan dalam waktu beberapa tahun. Kita belajar saja dari sana. Kalau sekarang peraturan tentang rooftop itu tidak lebih menarik dari apa yang dibuat di Australia. Ini kan pengusaha-pengusaha perlu dibina juga, jangan dibinasakan. Sumber pendanaan sudah banyak masuk. Analisis dari McKenzie dengan Permen saat ini tidak bankable. Artinya tidak layak untuk dibiayai, lalu siapa yang akan membiayai. Jadi tinggal kembali kepada pemerintah saja, kalau pemerintah punya uang, ya jalan. Hampir semua proyek energi terbarukan tidak bankable. Gerakan satu juta atap karena tidak memberikan daya tarik jadi ya tidak agresif. Sekarang kalau tidak salah baru ada 600 yang pasang. Kita rencanakan itu sebenarnya satu juta satu tahun. Kalau gerakan satu juta atap semestinya tidak ada benturan dengan kemungkinan berkurangnya jumlah pelanggan PLN.

BUMN itu sebetulnya berpikirnya jangan hanya cari untung. Dalam pertemuan dengan kemarin, PLN  masih berpikir untuk tetap menggunakan BPP. Sebagian besar peserta pertemuan mengatakan kalau masih tetap mengacu kepada BPP artinya tidak ada evaluasi. Makanya sekarang tujuan BUMN itu apa? Apakah mencari untung atau sebagai public obligation? Tinggal yang mana mau diambil. Kalau angka 23% sudah diset, semestinya itu menjadi komitmen pemerintah.

Bagaimana pemerintah melaksanakannya?
Semestinya dipikirkan secara bersama. Apakah menugaskan BUMN, dan sebagainya. Kalau pemerintah punya uang cukup, tidak ada masalah dengan Permen 50. Ketika pemerintah tidak ada uang, ingin dilakukan oleh swasta, dan swasta baru melakukan kalau proyeknya bankable. Kalau proyeknya tidak bankable, artinya tidak akan mungkin dijalankan.

Soal UU EBT sebagai payung hukum untuk peningkatan bauran EBT dalam energi primer?
Untuk UU EBT, itu usul inisiatif DPR. Final draf sudah di Komisi VII, sudah digodok dan masuk dalam Prolegnas 2019. Kalau sudah masuk Prolegnas ada kewajiban bagi DPR dan pemerintah. Kalau saya melihat UU EBT itu diciptakan untuk, pertama, memberikan daya tarik kepada sektor EBT. Kedua memberikan kepastian hukum, ketiga mengoptimumkan pemanfaatan EBT. Keempat pemberdayaan manusia. Kelima adalah keseimbangan antara energi terbarukan dan energi fosil. Jadi dalam draf itu membahas renewable energy portfolio standar. Jadi, kalau membangun energi itu jangan hanya fokus kepada energi fosil, tapi juga energi terbarukan.

Boleh saja orang tidak berkompeten membangun energi terbarukan tapi dia berkewajiban, berkewajiban dimana kalau di dalam draf itu saya lihat berkewajiban membeli sertifikat energi terbarukan. Jadi sertifikat energi terbarukan dari orang-orang yang membangun energi terbarukan. Memang mekanisme ini harus diatur tidak cukup dalam Permen atau PP, perlu diatur dalam regulasi yang cukup kuat. Pasti sudah dipikirkan UU ini lebih baik. Jadi harapannya supaya ada kepastian. Soal harga juga dituangkan dalam UU. Kalau ada dalam UU ya tidak perlu Permen, PP. Harapannya UU EBT segera disahkan. Kita jangan lagi berpikir apakah akan terkejar target 2025. Tapi ketika tidak disahkan apakah akan terjadi peningkatan itu perlu dipikirkan juga. Karena kalau sekian tahun posisinya masih tertatih-tatih, artinya itu ada harapan. Setiap UU dikeluarkan pasti ada tujuan tertentu. Sejauh ini yang kami ajak dalam beberapa FGD, para investor tertarik dan dianggap sebagai salah poin untuk mendukung pengembangan energi terbarukan.

Bagaimana Anda melihat visi presiden terkait pengembangan EBT?
Saya melihat presiden terpilih kan ada visi tentang energi di dalamnya sudah mencakup energi terbarukan. Karena presiden terpilih sama dengan seperti sebelumnya, kami melihat ada beberapa visi energi Pak Jokowi yang dulu praktis tidak terlaksana. Kenapa tidak terlaksana? Kan disebutkan energi terbarukan prioritas tapi faktanya tidak begitu. Semestinya seiring batu bara jalan, energi terbarukan jalan, batu bara 77% energi terbarukan 23%. Tapi sekarang faktanya batu bara 92%, energi terbarukan 8%. Kesimpulannya kan simpel, tidak terlaksana. Tapi bisa saja dengan berbagai upaya ada lompatan-lompatan kalau sebelumnya gap itu besar, kan bisa diperkecil. Kalau itu bisa dilaksanakan dengan konsisten dan konsekuen, misalnya dengan fokus tingkatkan SDM. Tapi kalau bicara SDM kan tidak hanya bicara SDM saja. Kalau SDM ada tapi bisnisnya tidak ada, mau diapakan SDM itu?

Yang pasti untuk sektor energi itu tanggung jawab di kementerian energi. Tapi karena penanganan energi tidak hanya ada di sektor energi, sumber-sumbernya ada di Kementerian PU, pertanian , Bappenas, kementerian riset, oleh karena itu koordinasi lintas kementrian menjadi penting. Oleh karena itu, ketika lahir UU energi kan ada dewan energi nasional yang berfungsi untuk mengoordinasikan semua lintas sektor. Kalau kita lihat di India, dia bisa memanfaatkan EBT cukup ketat. Dalam lima tahun bisa pasang solar PV 75 GW. China itu  bisa pasang solar PV  dalam lima tahun 110 GW. Ternyata, di sana mereka ada kementerian khusus untuk energi terbarukan, mungkin itu juga pengaruh.

Apa usulan METI dalam draf UU EBT?
Kami sebetulnya di dalam draf UU EBT mengusulkan ada badan yang mengelola energi terbarukan, Badan Pengelola Energi Terbarukan (BPET). Kalaupun kementeriannya tidak perlu dipisah, tapi ada badan yang mengelola, jadi betul-betul fokus, implementatif. Tanggung jawabnya ke presiden. Nanti regulasinya ada di kementerian. Badan ini bukan hanya eksekutor tapi juga mengelola dana. Nanti ada dana energi terbarukan yang dikelola badan itu. Di draf UU EBT di naskah akademisnya masuk.

Kami melihat bahwa niat bangsa dan negara ini sebetulnya sudah cukup bagus ketika lahirnya UU Energi Tahun 2007 itu bisa menjadi sebuah landasan untuk bergerak melakukan sebuah upaya-upaya dalam rangka mengelola energi, baik dari sumbernya dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Karena kalau dari masa lalu semuanya dari dalam negeri semua, kalau sekarang kan tidak semua. BBM itu lebih dari 60% impor berarti sumbernya tidak lagi dalam negeri. Karena itu pemerintah dan semua elemen bangsa bersepakat ketika melahirkan UU Energi Tahun 2007 karena itu menjadi landasan bagaimana mengelola energi Indonesia. Di dalamnya salah satu pertimbangan kenapa pentingnya UU energi itu karena sumber daya energi yang terbatas, tapi pemanfaatannya semakin meningkat dari waktu ke waktu. Oleh karena itu di dalam UU Energi ini bangsa dan negara ini bersepakat perlu melakukan upaya-upaya tidak hanya menggunakan energi bersumber kepada energi fosil yang selama ini lebih banyak dilakukan, karena itu muncul yang disebut diversifikasi energi yang dituangkan dalam Kebijakan Energi Nasional yang baru lahir 2014, tujuh tahun setelah UU energi itu lahir. Jadi cukup lama. Saya kira pasti ada proses kenapa itu lahir, pasti ada tarik menarik yang luar biasa. Karena di UU-nya disebutkan paling lama setahun setelah UU berlaku, tapi ternyata ini baru tujuh tahun kemudian. Whatever prosesnya, akhirnya kita lihat pada 2014 itu muncul. Di situ energi terbarukan menjadi prioritas. Kalau sebelum itu energi terbarukan tidak menjadi prioritas tapi dalam UU itu dan kemudian di PP-nya menjadi prioritas. Karena itu menjadi prioritas, pemanfaatan energi terbarukan dari sebelum itu masih tidak dilirik oleh banyak pihak, setelah menjadi prioritas dibuatlah target. Bagaimana kemampuan kita dan sebagaimana, ada analisis watch yang sangat bagus saya kira. Analisis watch yang sedemikian rupa akhirnya muncul kesepakatan yang dituangkan dalam PP. Dan ini PP satu-satunya yang harus mendapatkan persetujuan DPR. Jadi fungsinya hampir sama dengan UU, kalau PP yang lainnya hanya dikeluarkan pemerintah saja. PP ini bukan hanya disetujui presiden tapi juga DPR. PP Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Artinya dari sisi kekuatan hukumnya kan luar biasa. Walaupun itu disebut sebagai PP, jadi tanggung jawab pemerintah, tapi karena harus mendapat persetujuan parlemen dan disahkan dalam sidang pleno mungkin hampir sama saja dengan UU. Kalau melihat proses, statusnya, punya kekuatan luar biasa. Inilah yang dijadikan acuan.

Energi terbarukan ingin ditingkatkan dari posisi saat itu masih sekitar 6-7% dalam bauran energi nasional menjadi 23% pada 2025, menjadi 30% pada 2030. Dari posisi-posisi ini sudah menjadi komitmen elemen bangsa, bukan hanya elemen pemerintah, DPR, tapi semua pihak. Semestinya harus dilaksanakan oleh semua pihak. Dan yang semestinya yang melaksanakan itu pemerintah karena dia yang memegang roda kepemimpinan nasional, walaupun nanti ada yang perlu mendapatkan persetujuan DPR dalam hal tertentu, tapi tetap bolanya ada di pemerintah. Mungkin mengajak masyarakat agar aware mengenai ini. Jangan-jangan ada juga masyarakat yang belum aware bahwa target itu merupakan kesepakatan elemen bangsa.

Dari posisi itulah kita melihat bagaimana bergeraknya. Dari 2014 itu disahkan, posisinya 6-7% menuju 2025, 11 tahun harus 23%. Nah, 23% tahun 2025 itu bergeraknya pasti naik terus, tidak statis. Pertumbuhan energi bergerak karena itu 23% itu tidak sama angkanya pada saat tahun 2014. Artinya upaya pencapaian itu perlu effort. Bukan halnya dengan energi terbarukan, tapi juga batu bara. Pada saat itu batu bara belum mayoritas masih didominasi minyak bumi, gas masih sedikit. Kalau melihat secara nasional target batu bara itu sudah 50% dalam target 2025. Posisi hari ini energi terbarukan dalam bauran energi nasional baik dalam listrik maupun bahan bakar, masih sekitar 8%, pada 2019. Artinya masih sisa waktu enam tahun. Enam tahun kita harus kejar dari 8% menjadi 23%, berarti harus ada 15% lagi. Kalau melihat dari 2014 hanya 1% tumbuhnya, jadi pesimistis . Lima tahun jadi 5%, atau jangan-jangan tidak sampai. Panas bumi misalnya harus masuk 7.200 MW pada 2025, sekarang baru 2.000 MW, kuranglah sedikit 1.948 MW. Nanti mungkin 2019 ada yang masuk lagi. Jadi enam tahun lagi harus tambah 5.000 lagi, bisa tidak? Padahal dari tahun 74, panas bumi itu sudah dikembangkan sekarang sudah 40 tahun lebih. Dari 40 tahun itu baru 2.000 MW. Nah, enam tahun lagi bisa tidak 5.000 MW, ini kan tantangan yang sangat besar. Kemudian energi matahari, targetnya 6.000 MW, angin berapa ribu, air targetnya sekitar 13 ribu-14 ribu MW. Ini sebuah kondisi yang kami lihat sampai hari ini. Tentu saja untuk mencapai itu butuh bukan hanya sekedar kesiapan-kesiapan kebijakan mendukung, tapi juga perlu SDM, siap atau tidak? Teknologi siap atau tidak? Kesiapan masyarakat, akseptabilitas terhadap itu ada atau tidak. Ini kan menjadi pertanyaan juga.

Saya sering ditanya ketika di pelosok-pelosok: “Pak, ini gara-gara panas bumi sekarang bumi makin panas” ini kan artinya masyarakat tidak paham. Jadi edukasi bukan hanya untuk para expert, tapi masyarakat juga. Ini siapa yang akan meng-educate itu, apakah pemerintah, apakah IPP, swasta, siapa? Kalau di luar negeri, yang educate itu tanggung jawab pemerintah. Kenapa pemerintah, karena ini bagian dari pendidikan. kalau di luar negeri pendidikan semacam ini sudah diberikan sejak SD. Jadi menjadi pengetahuan yang melekat. Ada pengenalan untuk tahu bagaimana mereka dididik, termasuk misalnya soal bencana, kita kan tidak ada pendidikan bencana. Tiba-tiba ketika bencana kita bingung, baru setelah kejadian ada sosialisasi. Beda dengan di New Zealand, pendidikan tentang bencana sudah ada sejak SD. Itu saya lihat mereka lebih implementatif, jadi akseptabilitasnya lebih mudah.

Kalau disini, kita tidak well educated. Kalau ini bisa dilakukan lebih awal mungkin akan lebih mudah. Ketika tiba-tiba sekarang kita akan beralih dari energi fosil ke energi terbarukan, terlepas adanya conflict of interest dari itu, tapi ini juga menjadi concern. Pemahaman terhadap ini menjadi penting, sehingga akan mudah menjadi orang, bukan hanya dalam UU itu menjadi prioritas, tapi memang karena ini penting. Kalau energi terbarukan tidak memanfaatkan akan mubazir. Ini barangkali hukum alam juga, kenapa banyak bencana karena banyak sumber yang mubazir.

Mestinya sejak awal, khususnya zaman Orde Baru, pengembangan EBT itu digenjot?
Bagus ketika ini ada UU. Tapi sekarang persoalannya sejauh mana implementasinya. Kita melihat dulu itu selalu energi terbarukan itu dibanding energi fosil, kenapa tidak bisa berkembang? Karena dulu patokannya adalah minyak bumi yang disubsidi, yang bisa jadi setengahnya dari harga. kalau dibanding terhadap harga yang disubsidi itu pasti tidak akan bisa, jadi tidak ada fair treatment. Saat ini bagaimana Jakarta dikepung oleh polusi, tapi orang tidak pernah menganalisis penyebab polusi itu. Yang salah nanti menjadi kebijakan gubernur, kok jadi gubernur yang salah? Ini yang membuat kebijakan kan nasional kenapa salahnya di gubernur? Coba lihat Jakarta, udara yang paling jelek itu kan malam sampai subuh. Coba kalau bangun tidur pasti lihat kabut. Tahu tidak kenapa? Kalau kita salahkan kenapa mobil, kan mobil justru sedikit penggunaannya ketika malam. Tidak pernah kita tahu kalau Jakarta ini dikelilingi oleh PLTU, ini sumber polusi yang besar. Tapi ini perlu analisis yang matang. Kalau malam kan angin bergerak dari laut ke darat. Kalau kita lihat dari sisi ini, pertambahan pembangkit batu bara itu naik terus. Energi terbarukan yang 6.000 MW saja tidak jadi-jadi. Yang PLTS targetnya 6.000 MW dapatnya kurang dari 100 MW. Makin timpang perbandingannya. Jangan-jangan kalau dibandingkan riil itu tidak seimbang, kalau dilakukan audit jangan-jangan 8% itu tidak benar. Ini saya kira tantangan yang luar biasa.

Saya melihat pemerintah mulai sadar, 2008 mulai menganalisis salah satu penyebab adalah harga. maka keluarlah ada perubahan-perubahan terhadap harga energi, keluar beberapa kali peraturan. Bahkan terakhir 2012, World Bank melakukan kajian juga bagaimana harga energi yang tepat terutama untuk panas bumi. Akhirnya pemerintah pada 2014 mengeluarkan kebijakan tentang harga energi. Panas bumi dikembangkan mulai dari eksplorasi sampai ke pembangkit, komersial. Itu butuh waktu lama, 10-20 tahun. Karena itu harga kalau ditetapkan itu bergantung kapan mau COD. Kalau COD 2020 maka harga sekian, kalau COD tahun ini maka harga sekian sehingga ada kepastian. Tapi kembali lagi mungkin berbagai pandangan analisis yang dilakukan pemerintah menyebabkan peraturan-peraturan ini tidak konsisten. Bahkan pada 2017, mungkin yang paling banyak menghantam dari sektor energi terbarukan. ketika keluar Permen Nomor 50 Tahun 2017 yang menetapkan harga energi terbarukan 85% dari BPP. Orang langsung bertanya kok harus 85% dari BPP, bagaimana menghitungnya? Oleh karenanya dianggap tidak bankable. Proyeknya tidak bisa dibiayai, akhirnya panas bumi tidak bisa bergerak. Kalaupun ada dari panas bumi, itu adalah kontrak lama, 5-7 tahun lalu. Sarulla misalnya, itu dari 94, baru COD 2018, sekitar 20 tahun lebih. Karena itu saya katakan ketika World Bank melakukan analisis lalu diusulkan ke pemerintah, itu dibuat berdasarkan COD, kapasitas, posisi infrastruktur. Kalau di tempat tertentu yang infrastrukturnya terbatas kan perlu investasi yang besar, kecuali infrastruktur di sediakan pemerintah. (RA/AT)