JAKARTA – Peningkatan pendapatan usaha dari aktivitas operasi lainnya sebesar US$3,9 miliar pada 2018 menjadi penyelamat kondisi keuangan PT Pertamina (Persero). Pasalnya, pada 2017 pos tersebut hanya tercatat US$740 juta.

Lonjakan pos pendapatan tersebut ditopang pendapatan dari selisih harga ketetapan dan formula yang mencapai US$3,1 miliar. Pos tersebut tidak ada pada 2017.

Jika dicermati lebih lanjut kontribusi dari kompensasi pemerintah terhadap pendapatan sangatlah besar karena apabila tidak ada pos kompensasi tersebut maka pendapatan Pertamina hanya US$ 54,83 miliar. Jika dikurangi dengan total jumlah beban sebesar US$48,7 miliar, laba bruto hanya sebesar US$6,13 miliar. Ini tentu berdampak pada seluruh kinerja keuangan Pertamina.

Berly Martwardaya, peneliti senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) sekaligus pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, mengatakan kompensasi BBM sebenarnya sudah diperjuangkan Pertamina sejak tidak adanya kebijakan perubahan harga, meskipun ada kenaikan harga minyak dunia.

Jika kompensasi sudah sesuai kontrak awal tidak perlu dipersoalkan. Hal itu wajar serta proper. Apalagi pada dasarnya selisih harga sudah sepatutnya ditanggung pemerintah bukan malah menjadi beban badan usaha.

”Kalau sudah ada deal dari awal berarti memang projected dan sudah dikalkulasi.Bagus itu, berarti subsidi selisih harga tidak lagi ditanggung Pertamina. Memang harusnya ditanggung negara dan tertulis di APBN,” kata Berly kepada Dunia Energi, Selasa (4/6).

Pemerintah telah menyatakan akan memberikan kompensasi atas penetapan harga jual eceran BBM. Ini terkandung dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 43 Tahun 2018 tentang perubahan atas Perpres Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak sudah diatur dalam pasal 14 ayat 10 mengenai kemungkinan penggantian biaya oleh pemerintah.

Dalam beleid tersebut, berbunyi dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan auditor yang berwenang dalam satu tahun anggaran terdapat kelebihan dan/atau kekurangan penerimaan badan usaha penerima penugasan sebagai akibat dari penetapan harga jual eceran BBM, yang telah ditetapkan pemerintah dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara. Serta kemampuan daya beli masyarakat dan ekonomi riil serta kondisi sosial masyarakat, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara menetapkan kebijakan pengaturan kelebihan dan/atau kekurangan penerimaannya setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang badan usaha milik negara.

Pahala N Mansury, Direktur Keuangan Pertamina, mengatakan melalui Perpres 43, apabila Pertamina menjual BBM yang sifatnya penugasan dan subsidi dan harga jual eceran di bawah harga dasar, maka bisa ada pergantian.

“Tapi itu karena kami menjual di bawah harga pokok produksi. Itu mensupport agar Pertamina bisa melakukan penugasan pemerintah. Kalau kami diberikan penugasan, dan menjual di bawah harga Pokok Produksi atau HPP (COGS) kami, itu perlu ada pergantian,” ungkap Pahala.

Sayangnya, meski sudah tercatat di laporan keuangan perusahaan tapi dana kompensasi US$3,1 miliar atau sekitar Rp44,9 triliun belum bisa langsung didapatkan Pertamina.

“Untuk pembayaran masih proses. Bicara lebih lanjut dari pemerintah. Kondisi fiskal dan kondisi keuangan pemerintah juga. Paling penting kami sepakati dengan pemerintah adalah diakui terlebih dahulu. Alhamdulilah nanti kapan itu tergantung kondisi keuangan pemerintah,” ungkap Pahala.

Realisasi laba bersih Pertamina 2018 diluar dugaan. Jika pada awal tahun lalu, manajemen Pertamina hanya memproyeksikan Rp5 triliun, ternyata realisasinya mencapai US$2,53 miliar atau Rp36 triliun.

Manajemen menyatakan bahwa peningkatan pendapatan terutama dari sektor hulu adalah kontribusi utama pendapatan perusahaan. Pada 2018, pendapatan Pertamina mencapai US$57,93 miliar, naik dibanding realisasi 2017 sebesar US$46 miliar.(RI)