KURANG dari 72 jam lagi PT Pertamina Hulu Rokan (PHR), anak usaha Subholding Upstream Pertamina (PT Pertamina Hulu Energi) akan menggantikan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) mengelola Blok Rokan di Riau. Pada Senin, 9 Agustus 2021, Pertamina kembali mencatatkan sejarah. Perusahaan dipercaya oleh pemerintah untuk mengelola ladang migas habis kontrak. Sebelumnya, pada 2017, PT Pertamina Hulu Mahakam mengambiloper pengelolaan Blok Mahakam di Kalimantan Timur dari Total E&P Indonesie.

Kontroversi atas peralihan kontrak Blok Rokan dari CPI ke PHR sempat menghiasi pemberitaan sejak Pemerintah Indonesia memutuskan tidak memperpanjang kontrak CPI di Blok Rokan pada 2018. Sepanjang 36 bulan polemik soal alih kelola Blok Rokan ke Pertamina menghiasi pemberitaan media konvensional maupun media online. Entah berapa puluh ribu berita yang ditayangkan.

Tidak sedikit pihak yang meragukan kemampuan PHR dalam mengelola Blok Rokan dari CPI. Selain produksi minyak dari Lapangan Minas dan Lapangan Duri terus turun, PHR pun akan mengoperasikan blok migas yang operasionalnya ada di lima kabupaten itu menggunakan Production Sharing Contract  (PSC) dengan skema gross split. Penggunakan PSC gross split tentu saja membutuhkan tingkat keefektifan dan keefisienan dalam operasional perusahaan.

Di luar itu, PHR juga mesti menyiapkan berbagai strategi demi menjaga agar produksi dari Blok Rokan tidak turun, kalau perlu ditingkatkan. Apalagi lapangan di sana sudah mature. Kegiatan pengeboran harus dilakukan secara masif. Penyediaan rig juga harus siap pada saat alihkelola. Termasuk di dalamnya isu soal SDM eks CPI yang akan bergabung dengan PHR.

Apa dan bagaimana proyeksi PHR setelah mengelola Blok Rokan di tengah kebutuhan dana yang cukup besar untuk mengoperasikan ladang migas dengan produksi minyak terbesar kedua nasional itu? Mitra seperti apa yang harus digandeng oleh PHR agar perusahaan yang digandeng tersebut memberi dukungan terhadap upaya perusahaan mengerek kinerja produksi dari Blok Rokan?

Demi mengetahui persoalan tersebut, wartawan Dunia Energi Dudi Rahman mewawancarai Salis S Aprilian PhD, praktisi migas dan lebih dari 28 tahun bekerja untuk Grup Pertamina, Sabtu (7/8). Saat menjabat Direktur Utama PT Pertamina EP (2008-2011), Salis sukses mengangkat produksi minyak perusahaan dan sempat menembus level 130 ribu barel per hari. Jebolan teknik perminyakan Institut Teknologi Bandung ini juga cukup sukses saat memimpin PT Pertamina Hulu Energi (2011-20130) dan PT Badak NGL (2015-2018). Doktor dari Texas A&M University, AS ini pun adalah mantan Ketua Umum Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI).

Berikut petikannya.

Kurang dari 72 jam lagi PT PHR mengambilalih pengelolaan Blok Rokan dari PT Chevron Pacific Indonesia (CPI). Bagaimana Anda melihat kesiapan PHR?
Saya hanya bisa membaca dari luar melalui artikel di berbagai media massa maupun obrolan langsung dengan Dirut PHR Pak Jaffee A. Suardin, dan mengikuti beberapa webinar yang dihadiri beliau. Menurut saya, mereka sudah siap baik dari sisi teknis maupun non-teknisnya.

Barangkali ada potensi PHR belum siap. Di sektor apa kira-kira?
Barangkali tentang pendanaannya. Saya belum tahu apakah Pertamina cukup mampu mendanai seluruh pekerjaan rutin dan proyek-proyek baru (Eksplorasi dan EOR) dengan teknologi tinggi yang sudah dicanangkan di Blok Rokan. Informasi tentang itu hanya orang dalam Pertamina yang tahu tentunya.

Apa akselerasi yang bisa dilakukan mengatasi hal itu?
Kalau memang benar dananya tidak menyukupi, tentunya Pertamina harus berani membuka diri mencari mitra secara selektif yang dapat memberikan pendanaan dari luar dengan cara berbagi risiko dan pendapatannya.

Di bawah pengelolaan PHR, Blok Rokan menerapkan PSC Gross Split. Menurut Anda, apa yang harus dilakukan PHR selain harus efektif dan efisien dalam kegiatan operasional?
Selain harus efektif-efisien, juga harus reliable (andal) dan aman. Faktor keandalan operasional sangat erat hubungannya dengan keamanan dan keselamatan kerja serta lindung lingkungan (K3LL). Di antara industri ekstraksi, kegiatan migas ini termasuk memiliki tingkat risiko yang besar. Penghematan tanpa dibarengi dengan pengetahuan tentang dampak yang ditimbulkan dapat mengakibatkan kejadian fatal.

Produksi Blok Rokan masih di sekitar 160-an ribu barel per hari, terjun bebas dibandingkan 10 tahun lalu yang 400-an ribu barel per hari. Ada kesan CPI membiarkan produksi Blok Rokan turun karena tahu sebelum 2018 pengelolaan Blok Rokan tidak akan diperpanjang dan dialihkan ke perusahaan migas milik negara. Apa upaya PHR untuk meningkatkan, minimal menjaga produksi Blok Rokan?
Blok Rokan sebetulnya memiliki lebih dari 100 lapangan minyak. Meskipun sudah puluhan tahun (sekitar 70 tahun) diproduksikan, operator sebelumnya (CPI) hanya berkonsentrasi pada puluhan lapangan saja. Artinya masih ada bebrapa lapangan, meskipun dikategorikan kecil, yang bisa dikembangkan lebih lanjut. Dan ini dapat menambah produksi, selain harus dapat menahan laju penurunan produksi lapanga-lapangan besar (Minas, Duri, Bangko, Balam, Petapahan, dan lain-lain) yang memang secara alamiah pasti terjadi.

Apakah Blok Rokan bisa ditingkatkan kembali produksinya ke level 200 ribuan barel per hari?
Mungkin saja, tapi tentunya harus dengan kerja keras.

Apa saja yang harus dilakukan PHR?
Selain menerapkan teknologi EOR yang sudah teruji dengan baik, juga melakukan reaktivasi lapangan-lapangan minyak yang selama ini terabaikan. Harus ada re-visit data, remapping secara detail lapisan-lapisan mana yang masih potensial menyimpan minyak dan belum diproduksikan, atau pun sudah pernah diproduksikan tapi masih menyisakan minyak (istilah teknisnya sebagai by-passed oil).

Selain memperbanyak pengeboran sumur dengan berbagai metode, apa lagi yang harus dikerjakan PHR?Karena kebanyakan lapangan sudah mature, yang diperlukan adalah kajian produksi tahap lanjut (enhanced oil recovery – EOR) di semua lapangan. Saya yakin mereka sudah melakukan itu. Tinggal implementasinya, dengan cara melakukan priotitasi sesuai dengan ketersediaan dana dan faktor risikonya. Hal seperti ini akan lebih mudah dan akurat apabila menggunakan Artificial Intelligence (AI) atau Machine Learning (ML). Penggunaan ‘teknologi digital 4.0’ ini akan sangat membantu para engineers bekerja lebih efektif dan efisien.

Agar produksi Blok Rokan naik, mengapa tidak “dikeroyok” saja oleh Grup Pertamina untuk pengelolaan Blok Rokan dengan lead PHR. Misalnya, PDSI, Elnusa, Pertagas langsung terjun di Blok Rokan di bawah kendali PHR?
Selama semuanya berjalan secara profesional, fair, kompetitif, legally corect, dan transparan, kenapa tidak? Karena masing-masing anak perusahaan Pertamina juga sudah memiliki KPI (key performance indicators) sendiri. Harus ada target revenue, profit and lost, EBITDA, dll. Nah, apakah bisa disinkronkan? Hal ini juga harus menjunjung Undang-Undang atau Peraturan yang terkait Persaingan Usaha, tentunya.

Mungkinkah penunjukan langsung atau tanpa tender kepada perusahaan anak usaha Grup Pertamina?
Ada syarat-syarat dan justifikasi dalam penunjukan Langsung, meskipun skema yang diterapkan adalah Gross-Split. Jika persyaratan tersebut dipenuhi, ya go ahead saja.

Bagaimana Anda melihat BUMD yang memiliki 10% Participating Interest (PI) di Blok Rokan?
Ya. Itu persyaratan yang tercantum dalam Undang-Undang Migas. Tujuannya adalah untuk membagi modal dan risiko serta membangkitkan usaha di daerah. PI 10% itu bukan hanya dapat bagian/porsi dari keuntungan pengelolaan kegiatan migas di daerahnya, tapi juga harus menyetor modal sebesar persentasenya. Nah, kalau BUMD bisa mengelola itu, maka dapat menumbuh-kembangkan kegiatan perekonomian di daerahnya. Sebaliknya, kalau tidak pandai-pandai mengelolanya, justru akan menimbulkan masalah, karena bisnis migas ini berisiko tinggi. Biaya tinggi, cadangan bawah permukaan yang tidak pasti, harga minyak yang terus berfluktuasi.

Bagaimana dukungan BUMD dan Pemerintah Daerah terhadap PHR agar kegiatan operasi di Blok Rokan lancar seperti halnya pengelolaan Blok Cepu?
Karena BUMD dan Pemerintah Daerah mendapat porsi 10 persen, baik dari modal maupun produksinya, mereka wajib mengetahui perencanaan dan realisasi kegiatannya. Memang, kalau bisa, tidak sampai masuk pada sisi teknikal dan strateginya, karena mereka sudah menyerahkan pengelolaan (operatorship) Blok Rokan ini kepada Pertamina (dalam hal ini PHR). BUMD dan Pemerintah Daerah dapat lebih berperan dalam hal mengawasi dan menyarankan kandungan lokal (local content) dari sisi pengadaan, pengembagangan masyarakat melalui program CSR, dan pengelolaan dana bagi hasil (DBH) yang diperoleh dari kegiatan migas ini untuk menegambangkan kegiatan-kegiatan industri non-migas yang lebih sustainable.

Agar produksi Blok Rokan terjaga dan bahkan naik, tentunya dibutuhkan suasana kondusif baik di intern PHR dan Mitra, juga pemerintah Pusat dan Daerah, Kementerian ESDM dan SKK Migas. Bagaimana meminimalkan konflik di Daerah apalagi kita tahu bahwa pasti akan banyak tuntutan, mulai perusahaan lokal terlibat dalam proyek, peningkatan dana CSR di wilayah operasi, prioritas warga lokal untuk bekerja di PHR, dll. Tanggapan Anda?
Semua itu menjadi tanggung jawab BUMD dan Pemerintah Daerah. Jadi, seharusnya terjadi kordinasi yang baik antara apa yang diharapkan (aspirasi) masyarakat, baik melalui kelompok atau komunitas tertentu maupun melalui wakil mereka di DPRD, dengan yang dijalankan oleh perusahaan. Semua keluh kesah dan masukan masyarakat harusnya dapat ditampung dan dikoordinasikan oleh BUMD dan Pemerintah Daerah, lalu merek menyampaikannya ke perusahaan. Dengan demikian, Pertamina, sebagai operator yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan operasioal, tidak dibebani dengan masalah sosial yang sebenarnya dapat dikoordinasikan dengan baik oleh mitranya di daerah, yakni BUMD dan Pemda.

PHR juga disebut-sebut akan menjaring mitra. Konon disebut-sebut salah satu konglomerat nasional akan jadi mitra PHR. Menurut Anda?
Kalau Pertamina tidak memiliki modal finansial yang cukup memang harus bermitra dengan pihak yang memiliki uang. Itu sudah common business. Tapi tentunya harus selektif karena ini bisnis migas yang mengandung banyak risiko. Kalau bisa, carilah mitra yang juga memiliki pengalaman dan teknologi yang cukup untuk bersama-sama mengembangkan Blok Rokan ini sehingga separuh jalan boleh dibilang sudah dapat diselesaikan, yaitu memilih teknologi yang cocok dengan membagi risiko bersama berdasarkan modal yang disetor.

Mitra seperti apa yang pas untuk PHR?
Selain memiliki dana yang kuat, mitra yang dipilih juga harus yang berpengalaman mengelola lapangan migas dengan dukungan teknologi terkini yang sudah terbukti sukses.

Mengapa tidak mengajak saja Chevron untuk jadi mitra atau perusahaan multinasional lain? Bukankah pengelolaan Blok Rokan butuh investasi besar sementara cadangan di ladang minyak itu terus turun?
Saya tidak bisa menjawab itu. Tapi saya kira hal itu sudah dipertimbangkan oleh Pertamina, termasuk dari sisi legal dan politisnya. Barangkali, lo ya. (DR)