JAKARTA – Inpex Masela Ltd, anak usaha Inpex Corporation asal Jepang secara resmi mendapatkan perpanjangan kontrak 7 tahun dan 20 tahun untuk mengelola Blok Masela bersama dengan mitra usahanya Shell  Upstream Overseas Ltd.

Berdasarkan keterangan resmi Inpex, Selasa (15/10), penandatanganan kontrak perpanjangan yang masih menggunakan skema cost recovery ini dilakukan pada 11 Oktober lalu disaksikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan dan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar di Jakarta.

Persetujuan perpanjangan kontrak adalah bagian dari kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Inpex dalam kelanjutan pengembangan Blok Masela yang sebelumnya sudah ditandai dengan pemberian persetujuan revisi rencana pengembangan (Plan of Development/PoD) yang diberikan pemerintah pada Juli lalu.

Blok Masela memiliki sejarah panjang karena menjadi polemik dalam hampir dua dekade terakhir. Inpex menandatangani kontrak pertama blok di laut Arafuru itu pada 1998 dan menemukan cadangan gas sebesar 6,97 TCF. Pada 2008 PoD pertama pun diserahkan dan disetujui pemerintah pada tahun 2010 dengan mekanisme pengembangan offshore atau dikembangkan melalui proses yang dilakukan di fasilitas pengolahan gas di laut dengan kapasitas 2,5 MTPA per tahun.

Namun demikian ternyata Inpex mengajukan penambahan produksi lantaran ditemukannya cadangan baru. Inpex kemudian mengajukan revisi PoD dengan adanya peningkatan kapasitas produksi menjadi 7,5 MTPA per tahun. Seiring waktu berjalan Presiden Joko Widodo pun meminta adanya perubahan mekanisme pengolahan gas dari offshore menjadi onshore atau di darat pada 2016. Ini artinya Inpex diminta untuk membangun seluruh fasilitas produksi di darat, tidak lagi sesuai dengan rencana Inpex di laut.

Biaya pengambangan Blok Masela paling sedikit akan menghabiskan dana sedikitnya US$18 miliar atau paling besar sekitar US$20 miliar. Belum ada angka pasti memang karena setelah PoD ini baru akan dilakukan pembahasan mendalam terkait seluruh biaya sebelum penandantanganan FID.

Namun dalam insentif yang diberikan pemerintah, SKK Migas memberikan kelonggaran karena menurut dokumen rekomendasi SKK Migas kepada Jonan yang diterima Dunia Energi, ada mekanisme penyesuaian insentif terhadap bagi hasil dengan menggunakan besaran batas atas dan batas bawah dari biaya investasi untuk pengembangan, yaitu US$ 19,858 miliar (batas atas) dan US$ 18,555 miliar (batas bawah).

Dalam hal biaya pengembangan kurang dari US$ 18,555 miliar maka penyesuaian insentif akan dilakukan dengan biaya pengembangan sebesar US$ 18,555 miliar. Fasilitas perpajakan tidak langsung tetap berlaku, bagi hasil bagian kontraktor setelah pajak atas migas disesuaikan menjadi 41,20%, investment credit tetap 80% dan IRR sebesar 15,10%.

Lalu apabila biaya pengembangan lebih dari US$ 19,858 miliar maka penyesuaian insentif akan akan dilakukan dengan biaya pengemabbgan sebesar US$ 19,858 miliar dimana fasilitas pajak tidak langsung tetap berlaku, bagi hasil kontraktor setelah pajak atas migas tetap 50,00%, investmen credit tetap 80%, IRR 15,15%

Kemudian jika biaya pengembangan kurang dari US$19,858 miliar akan tetapi lebih dari US$18,555 miliar maka penyesuaian insentif akan, IRR dengan biaya pengembangan aktual sehingga didapatkan IRR antara 15,10% dan 15,15%. Bagi hasil kontraktor setelah pajak atas migas akan disesuaikan dengan biaya pengembangan aktual dan IRR yang telah disesuaikan sedangkan fasilitas pajak tidak langsung dan investment credit akan tetap 80%.(RI)