JAKARTA – Produksi minyak nasional terus menurun setelah sempat mencapai puncak kejayaan pada 1977-1995 dengan jumlah produksi  sekitar 1,6 juta barel per hari.  Setelah Itu, produksi terus turun  dan menembus batas di bawah 1 juta bph pada 2007 dan saat ini produksinya hanya 750-an ribu bph.

Andang Bachtiar, Sekretaris Jenderal Asosiasi Daerah Penghasil Migas, mengatakan era kekayaan minyak bumi lndonesiapun dinyatakan telah berakhir oleh Presiden Jokowi.

“Bahwa SKK Migas pada Juli 2019  telah membuat perencanaan optimistis untuk menahan dan bahkan menaikkan kembali tren produksi minyak hingga mencapai di atas 1 juta bph di 2033-2038, hal itu juga tidak akan mengembalikan kejayaan migas seperti era puncak antara 1977-1995 yang lalu,” kata Andang, mantan Anggota Komite Eksplorasi di Jakarta Senin (19/8).

Menurut Andang, dengan berakhirnya kejayaan migas maka pemerintah harus berani untuk terus merelaksasi tekanan pada target Pendapatan Nasional Bukan Pajak (PNBP) dari migas. Arah baru ini sebenarnya sudah dijalankan 2-3 tahun belakangan dalam persetujuan PoD-PoD Blok A Aceh, Blok Merakes di Selat Makassar dan juga Blok Masela dl Maluku.

“Bagi pemerintah yang dikedepankan bukan lagi negara mendapatkan lebih banyak langsung dari bagi hasil (split), tetapi bahwa proyek migas tersebut dapat terlaksana, multiplier efeknya terjadi, dan secara gross negara mendapatkan keuntungan dari diproduksikannya migas tersebut sebagai modal dasar pembangunan nasional, bukan sekedar penghasil revenue semata,” ungkap Andang.

Andang menekankan, arah baru yang merelaksasi tekanan pada PNBP pada migas harus konsisten dijalankan, terutama untuk merealisasikan POD-POD yang masih dalam proses dan juga temuan-temuan teknis (technical discoveries) yang selama ini dianggap tidak ekonomis oleh kontraktor karena split (bagi-hasil) nya yang kurang/tidak menguntungkan.

Dia menambahkan, memproduksi sumber daya minyak dan gas untuk dipakai langsung memenuhi demand dalam negeri jauh lebih bermanfaat saat ini dari sisi ketahanan energi dan solusi mengatasi defisit neraca perdagangan daripada tetap menahan migas tersebut di dalam bumi karena pendapatan (revenue) bagian negara lebih kecil dari bagian kontraktor.

Dengan berakhirnya era kejayaan minyak bumi lndonesia, kata Andang, maka sudah seharusnya pemerintah lebih mengedepankan untuk memberi kebebasan kepada kontraktor migas memilih menggunakan jenis kontraknya, apakah menggunakan kontrak gross split ataukah kontrak PSC konvensional.

“Bukan seperti yang sekarang, dimana keseluruhan kontrak baru ditawarkan dalam bentuk kontrak gross split semata,” katanya.

Andang berharap dengan dimunculkannya alternatif tersebut maka investasi baru eksplorasi di bidang migas akan semakin bergairah dan meningkat.

Salah satu solusi jangka menengah dan panjang dalam rangka mengatasi masalah impor minyak bumi lndonesia yang terutama akan makin parah di 2025-2030 nanti adalah dengan menguasai cadangan-cadangan migas di luar Indonesia langsung dari hulunya, yaitu lewat penguasaan blok-blok migas dunia oleh PT Pertamina (Persero) ataupun BUMN lainnya.

“Dengan demikian maka volume impor minyak kita akan tergantikan oleh pengiriman entitlement ke Indonesia yang akan meringankan beban defisit neraca perdagangan kita,” ujar Andang.

Pembangunan infrastruktur migas, terutama kilang minyak dan pipa-pipa transmisi gas, yang di era pemerintahan Jokowi jilid 1 masih belum menunjukkan hasil nyata harus terus diupayakan di masa 5 tahun mendatang. Sama seperti jalan tol, jembatan dan pelabuhan, infrastruktur migas semestinya juga dibebaskan dari trauma beban keekonomian, sehingga pembangunannya bisa segera direalisasikan.

Andang mengatakan, sumber daya manusia Indonesia di bidang migas sudah terbukti banyak berperan aktif dan berprestasi di berbagai perusahaan industri migas internasional di luar negeri. Potensi untuk memanfaatkan pengalaman para ahli migas Indonesia baik yang tinggal di Indonesia maupun diaspora di luar negeri ini terbuka lebar melalui asosiasi profesi komunitas migas yang ada di lndonesia, karena sejatinya dengan pesatnya perkembangan teknologi komunikasi, maka asosiasi profesi komunitas migas Indonesia dan diasporanya tersebut lebih mudah terhubung dan berinteraksi saatsaat ini.

“Pemerintah seharusnya lebih membuka diri untuk bekerjasama dengan asosiasi profesional komunitas migas Indonesia tersebut dalam rangka pengembangan SDM Migas Indonesia yang lebih bisa menjawab tantangan migas kita ke depan, sesuai dengan visi SDM unggul Jokowi untuk era pemerintahan 2019-2024 ini,” tandas Andang.(RA)