JAKARTA – Regulasi sebagai payung hukum pembangunan pembangkit dan penetapan harga jual beli listrik Energi Baru Terbarukan (EBT) dinilai sebagai biang kerok investasi EBT jalan di tempat. Kondisi tersebut berawal pada 2017 saat pertama kali diberlakukan aturan main baru yang tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 Tahun 2017.

Beberapa poin dalam permen tersebut yang terus menerus didorong untuk diubah oleh para pelaku usaha, di antaranya adalah ketentuan harga jual listrik yang berdasarkan Biaya Pokok Produksi (BPP) masing-masing wilayah. Aturan tersebut dinilai tidak cocok karena pelaku usaha menganggap investasi EBT masih besar, sementara harga jual listriknya justru harus bersaing dengan bauran energi lainnya yang sudah murah harganya seperti batu bara ataupun gas.

Selain itu juga ada aturan Build, Own, Operate, Transfer (BOOT) yang membuat pelaku usaha menyerahkan aset pembangkit kepada negara setelah kontrak jual beli listrik berakhir dengan PT PLN (Persero).

FX Sutijastoto, Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM, mengatakan tidak ada PPA (Power Purchase Agreement) lagi setelah 2017 yang menggunakan skema Permen 50 tersebut. “Belum ada kontrak PPA yang mengikuti ketentuan dalam Permen 50/2017,” kata Sutijastoto, Rabu (28/7).

Hal tersebut bisa dilihat dengan realisasi penandantanganan PPA yang anjlok setelah 2017. Kala itu Menteri ESDM masih dijabat Ignasius Jonan. Bahkan pada saat penandatanganan 70 PPA yang rencananya dilakukan secara serentak oleh 10 produsen listrik swasta (Independet Power Producer/IPP) dibatalkan karena tidak setuju dengan ketentuan kontrak yang mengacu pada permen 50 tersebut. Akhirnya hanya 60 penandatanganan dilakukan serentak.

Pemerintah akhirnya berhasil membujuk para IPP lainya, tapi masalah terhadap permen 50 belum usai. Keluhan sulitnya mendapatkan pendanaan berdasarkan kontrak yang mengacu terhadap permen 50 ternyata bukan isapan jempol. Hingga kini ada delapan IPP yang dibatalkan kontrak PPA-nya atau mengalami terminasi lantaran tidak kunjung mendapatkan pendanaan. Selain itu ada 20 IPP lainnya yang kini belum diterminasi kontrak PPA-nya tapi masih belum mendapatkan kepastian pendanaan atau belum financial close.

Pada 2018 hanya ada lima PPA dengan total kapasitas 366,9 megawatt (MW), lalu pada tahun 2019 total PPA hanya ada tujuh PPA dengan total kapasitas pembangkitnya hanya 52,99 MW. Setahun kemudian atau 2020 kondisinya makin parah. Hingga semester I, baru ada satu PPA yang ditandatangani, yakni untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Cirata dengan kapasitas 145 MW.

Pemerintah kala itu beralasan pemberlakuan Permen 50 juga membuat semacam seleksi sehingga hanya perusahaan atau IPP yang teruji kapasitasnya, baik dari sisi teknis dan finansial yang akhirnya bisa merealisasikan pembangunn pembangkit. Ini untuk memastikan bahwa pembangkit listrik EBT yang beroperasi juga bukan pembangkit yang kualitasnya rendah dan tidak keberatan jika menjual harga listrik dengan harga yang terjangkau.

Kini pemerintah mulai menyadari bahwa aturan tersebut tidak kunjung memantik investasi. Justru investasi semakin anjlok. Kementerian ESDM baru-baru ini juga melakukan revisi terhadap permen 50 dengan terbitnya Permen ESDM Nomor 4 Tahun 2020.

Beberapa poin perubahan misalnya, terbuka opsi penunjukan langsung dengan syarat: darurat penyediaan listrik setempat, excess power, penambahan kapasitas pembangkitan, hanya terdapat satu calon penyedia, atau PLTA yang telah memiliki izin lokasi dari pemerintah daerah. Lalu sejak terbitnya Permen ESDM Nomor 4 Tahun 2020, skema kerja sama dalam PJBL sesuai kesepakatan para pihak dengan mengacu pada ketentuan hukum pertanahan. Untuk PJBL yang ditandatangani sebelum Permen 4/2020 yang masih menggunakan skema BOOT dapat disesuaikan menjadi BOO. Jadi sekarang aset pembangkit tidak lagi wajib diserahkan ke negara.

Sutijastoto mengatakan tidak lama lagi perbaikan lebih substansial dari sisi regulasi juga akan terjadi melalui peraturan presiden (Perpres) yang ditargetkan sudah bisa diberlakukan pada tahun ini. Pada Perpres tersebut akan ditetapkan dengan mengacu pada harga keekonomian EBT yang wajar.

“Kami pertimbangkan keterjangkauan masyarakat, namun keekonomian juga. supaya karena kalau enggak keekonomian, investor gas confidence. Indonesia beda dengan negara maju, sudah bisa beli listrik, kita masih subsidi. Jadi harus balancing harga keekonomian baik dan daya beli,” kata Sutijastoto.

Untuk bisa mewujudkan harga listrik EBT yang terjangkau, nantinya pemerintah tidak segan memberi insentif ke pelaku usaha, sehingga harga listrik yang dijual PLN bisa ditekan. PLN juga bisa menjual listrik dengan tarif yang terjangkau ke masyarakat.

“Pemerintah memberi insentif dan kompensasi supaya harga EBT bisa terjangkau, namun keekonomian bisa tercapai. Karena masih tahap awal, pemerintah memberi insentif tax holiday dan lain-lain. Untuk panas bumi, untuk mengurangi risiko ada kompensasi eksplorasi supaya harga PLN menjadi baik,” kata Sutijastoto.(RI)