JAKARTA – PT Pertamina (Persero) menggelontorkan US$2,41 miliar sepanjang 2020 untuk bisnis hulu migas atau 51% dari total investasi yang mencapai US$4,7 miliar Untuk menjaga pertumbuhan dan keberlanjutan bisnis  2021, Pertamina kembali menganggarkan Capital Expenditure (Capex) sebesar US$10,7 miliar.

“Langkah ini merupakan upaya perseroan untuk menjaga kedaulatan energi nasional dengan meningkatkan produksi minyak dan gas. Serta mendukung pemerintah mewujudkan produksi satu juta barel per hari,” kata Fajriyah Usman, Pjs Senior VP Corporate Communications & Investor Relations Pertamina.

Di sektor pengolahan, anggaran investasi Pertamina juga diperuntukkan untuk membangun infrastruktur pengolahan empat Refinery Development Master Plan (RDMP) dan Grass Root Refinery (GRR) yang akan terintegrasi dengan kilang Petrokimia. Selain itu ada juga proyek Biorefinery di tiga lokasi yakni kilang Cilacap, Dumai dan Plaju.

“Melalui investasi pembangunan kilang, Indonesia dapat mewujudkan swasembada atau kemandirian energi yang sangat diperlukan di masa depan,” kata Fajriyah.

Lalu di sektor hilir, Pertamina juga terus mengembangkan infrastruktur penyaluran BBM, LPG, dan gas. Saat ini, Pertamina sedang menuntaskan 14 lokasi Terminal BBM dan 4 lokasi Terminal LPG di Indonesia Timur. Untuk mendorong upaya konversi energi bagi pembangkit listrik PLN, Pertamina juga membangun infrastruktur LNG di 56 titik.

“Mengantisipasi era transisi energi, Pertamina terus mengembangkan PLTP, PLTS atau PLTGU untuk ketahanan energi nasional,” ungkap dia.

Anggaran investasi untuk seluruh proyek tersebut bersumber dari internal ekuitas perusahaan maupun pembiayaan eksternal dalam bentuk pinjaman loan, global bond atau pendanaan proyek/project financing.

Dari keseluruhan proyek, yakni 14 Proyek Strategis Nasional dan 300 proyek investasi lainnya di sektor hulu, hilir, dan energi bersih terbarukan, Pertamina memerlukan sekitar US$ 92 miliar sepanjang 2020-2024. “Melalui proyek dan pemanfaatan dana yang produktif ini, Pertamina dapat meningkatkan pendapatan perusahaan yang secara bertahap digunakan untuk membayar pinjaman,” kata Fajriyah.

Dalam rangka pengelolaan pinjaman, lanjut Fajriyah, Pertamina menjalankan beberapa strategi, di antaranya: disiplin pembentukan sinking fund, buyback global bond/liability management, cash management, akselerasi receivables collection antar perusahaan, serta disiplin monitoring hasil investasi.

Dengan strategi tersebut, perusahaan mampu merealisasikan kemampuan pembayaran obligasi yang jatuh tempo pada tahun 2021 sebesar US$ 391 juta. Sebelumnya tahun 2020, Pertamina juga telah melunasi tiga corporate loan dengan total mencapai US$ 549,4 juta.

Pada 2020, Pertamina juga terbukti berhasil mencatat rasio utang yang terjaga dengan baik dan masih kompetitif di antara perusahaan migas nasional maupun internasional lainnya. Tiga lembaga pemeringkat internasional yaitu Moody’s, S&P dan Fitch menetapkan Pertamina pada peringkat investment grade masing-masing pada level Baa2, BBB, dan BBB.

“Kami melakukan upaya untuk tetap mempertahankan rasio utang dalam kontrol yang wajar sebagai perusahaan yang sehat. Debt to EBITDA tetap kita jaga, dan seluruh aspek Keuangan juga di monitor oleh KBUMN sebagai Pemegang Saham,” kata Fajriyah.(RI)