JAKARTA – Asosiasi Perusahaan Migas (Aspermigas) masih optimistis target peningkatan produksi migas bisa tercapai, syaratnya butuh inisiatif lebih besar dari pemerintah untuk bisa menyusun rencana kerja yang melibatkan seluruh stakeholder, termasuk perusahaan migas dan penunjang migas swasta dalam negeri.

Moshe Rizal, Sekretaris Jenderal Aspermigas, mengungkapkan ada beberapa kebijakan yang bisa ditempuh pemerintah. Tidak hanya meningkatkan produksi, bukan tidak mungkin masalah impor migas akan teratasi.

Pemerintah dinilai harus lebih serius dalam memfasilitasi penerapan Enhance Oil Recovery (EOR). Dengan kondisi sumur-sumur migas Indonesia yang telah mature atau tua dan masuk ke fase penurunan produksi secara alami, maka EOR menjadi salah satu jalan terbaik untuk menahan laju penurunan produksi minyak alami, bahkan bisa juga meningkatkan produksi.

EOR menjadi salah satu yang paling dipertimbangkan karena jika mengandalkan penemuan cadangan besar yang baru memerlukan waktu sangat lama atau bisa lebih dari lima lima tahun. Eksplorasi yang menjadi andalan untuk menemukan cadangan baru juga prosesnya tidak sebentar. Jika di total maka paling tidak butuh lebih dari 10 tahun untuk bisa meningkatkan produksi migas dengan mengandalkan cadangan baru.

Sementara EOR cadangannya sudah pasti ada hanya tinggal pemilihan teknologi dan berbagai dukungan lainnya saja yang  diberikan.

Pertamina memiliki peran kunci untuk implementasikan EOR ini karena sebagian besar sumur-sumur tua dikelola perusahaan pelat merah itu. Begitu juga dengan pengelolaan blok-blok migas tanah air saat ini sudah sebagian besar dikelola Pertamina.

“Fasilitasi implementasi EOR dengan meningkatkan peran kolaborasi antara pemerintah dan Pertamina,” kata Moshe disela pelatihan khusus media tentang bisnis proses migas hulu dan hilir yang digelar oleh JSK Petroleum Academy, belum lama ini.

Moshe mengatakan pemerintah seharusnya juga terbuka memberdayakan berbagai potensi perusahaan nasional serta Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sektor migas untuk ikut mendorong peningkatan produksi. Selama ini yang menjadi fokus hanya Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) besar. Padahal perusahaan nasional jika dikoordinasikan dengan baik bisa jadi pendukung para KKKS dalam menggenjot produksi migas.

“Para perusahaan migas nasional dan BUMD ini bisa didukung agar perannya meningkat untuk mengelola potensi deep horizon reservoir yang belum maksimal dieksplorasi atau dieksploitasi,” kata Moshe.

Proyeksi kebutuhan migas sendiri untuk tahun-tahun mendatang masih cukup besar. Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN)  2025 nanti porsi minyak bumi sebesar 25% dari bauran energi nasional. Secara persentasi ada penurunan memang dibandingkan dengan realisasi RUEN pada 2019 yakni sebesar 33,58%.

Secara volume untuk bauran migas 2025 mendatang semakin besar yakni  mencapai 710,9 juta barel setara minyak (Barrel Oil Equivalent/BOE). Sementara pada 2019 realisasinya 525,5 juta barel setara minyak (BOE). Kebutuhan minyak terus meningkat menjadi 1,4 miliar BOE pada 2050 atau hampir 100%

Di sisi lain penggunaan gas secara persentase dan volume juga diproyeksi terus meningkat bauran energinya menjadi 22% pada 2025 dan menjadi 24% pada 2050.

Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan proyeksi itu tentu jelas menggambarkan bahwa peningkatan produksi migas nasional memang sangat penting. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ada 128 basin tersedia dari ujung Sabang sampai Marauke dari pulau Miangas hingga pulau Rote sebagai tempat untuk mencari pontensi cadangan migas terbaru.

“Tentunya kalau melihat dari sisi sumber memang itu baru dihasilkan dari setengah cekungan dari 78 cekungan yang kita punya saat ini memang ada harapan,” kata Arifin.

Pandemi Covid-19 dan anjloknya harga minyak dunia membuat berbagai perusahaan besar internasional merevisi rencana kerja mereka tahun ini, termasuk perusahaan yang beroperasi di Indonesia.
Kondisi itu prediksi akan bertahan hingga 1-2 tahun kedepan.

Momen pandemi ini menurut Moshe harus dijadikan momentum untuk mempercepat transformasi bisnis migas yang sebenarnya sudah dimulai bertahun-bertahun yang lalu.

Jika mau tranformasi lebih cepat maka stimulus atau insentif bagi pelaku usaha harus disiapkan. Tidak hanya bagi para KKKS insentif disarankan bisa ditujukan juga kepada industri penunjangya.

Moshe mengapresiasi kebijakan pemerintah yang sudah memberi insentif penundaan pembayaran Abandonment Site Restoration (ASR) pada tahun ini. Ia berharap inisiatif seperti ini bisa dilanjutkan hingga menyasar ke para perusahaan penunjang migas yang juga ikut terdampak pagebluk.

Bayangkan jika industri penunjang tidak mampu bertahan lalui masa sulit ini maka yang terkena imbas juga para KKKS yang akan kesulitan dalam melakukan kegiatan operasi produksi migas yang harus terus berjalan.

“Insentif khusus diperlukan baik untuk perusahaan migas maupun penunjangnya. Berbagai insentif pastin sangat bermanfaat, misal dari sisi insentif perpajakan, tax holiday atau lainnya pasti akan sangat membantu di masa-masa seperti sekarang ini,” kata Moshe.

Ketika peningkatan produksi sisi hulu terus jadi fokus, pemerintah juga jangan melupakan sektor hilir. Indonesia menghadapi masalah pelik akibat terbatasnya kilang yang tersedia. Pertamina memang saat ini tengah mengerjakan mega proyek kilang baik itu pengembangan kilang eksisiting atau Refinery Development Master Plan (RDMP) di Balikpapan, Balongan Cilacap dan Dumai maupun pembangunan kilang baru di Tuban, Jawa Timur.

Pertamina sebenarnya tidak perlu sendiri dalam membangun kilang. Moshe menyatakan untuk membagi risiko pembangunan maka Perusahaan migas swasta nasional bisa jadi alternatif untuk menjadi mitra Pertamina.

“Bisa ada kerjasama antara Pertamina dan perusahaan nasional dengan dukungan pendanaan alternatif dari luar negeri,” kata Moshe.(RI)