JAKARTA – Pemerintah diminta merumuskan kembali kebijakan untuk masa depan biodiesel Indonesia setelah 2025 yang diintegrasikan dengan rencana mitigasi perubahan iklim. Selain itu, ada beberapa perencanaan yang sudah dicanangkan sejak 2006 pada Cetak Biru Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) 2006 – 2025 yang belum direalisasikan.

“Misalnya, rencana untuk memiliki area khusus bagi tanaman bahan baku biodiesel, hingga hari ini belum juga terealisasi,” kata Azis Kurniawan dari Colaborate Advocate Breaking Barriers (Coaction/Koaksi) Indonesia di Jakarta, Kamis(6/12).

Pengembangan kebijakan penggunaan BBN di Indonesia dimulai pada 2006. Hal ini dilatarbelakangi oleh melonjaknya harga minyak bumi dunia.

Menurut Azis, ketiadaan area khusus bagi tanaman bahan baku menjadikan biodiesel sebagai sasaran terhadap tuduhan pembukaan kebun kelapa sawit melalui perusakan ekosistem hutan. Selain itu, moratorium konsesi kelapa sawit harus dipertahankan untuk mencegah segala bentuk perluasan lahan.

“Industri kelapa sawit perlu beradaptasi dengan kebijakan ini dan bukan sebaliknya,” kata dia.

Aspek ketelusuran dan transparansi juga harus menjadi perhatian utama dari regulator maupun pengusaha biodiesel. Dengan adanya sistem ketelusuran dari hulu dan hilir, pemerintah dapat lebih mudah memantau kebun mana yang masih belum sesuai prinsip keberlanjutan sehingga dapat dengan tepat memberikan evaluasi. Pengusaha biodiesel dapat memastikan kualitas dari bahan mentah atau setengah jadinya, dan konsumen dapat memastikan apakah penggunaan biodieselnya berkontribusi dalam deforestasi atau tidak.

Untuk memastikan aspek ketelusuran dan transparansi ditegakkan, perlu ada sistem pemantauan yang menyediakan informasi bagi para pemangku kepentingan dan publik mengenai mata rantai industri biodiesel dari sektor hulu ke hilir. Usaha peningkatan ketelusuran dapat diintegrasikan dengan upaya penguatan standar keberlanjutan yang sudah ada.

Menurut Azis, usaha penguatan standar keberlanjutan dapat dimulai dengan penguatan Indonesia Sustainable Palm Oil System (ISPO) sebagai standar keberlanjutan yang sudah diwajibkan sebagian saat ini dibandingkan dengan beberapa standar lainnya. Tahap pertama yang dapat dilakukan adalah memastikan seluruh kebun kelapa sawit yang ada di Indonesia, baik milik negara, pengusaha swasta, dan petani swadaya, wajib bersertifikasi ISPO. Setelah tercapai, maka kualitas dari sertifikasi ISPO dapat dikuatkan dengan menerapkan indikator keberlanjutan hingga sektor hilir industri biodiesel, terutama penghitungan emisi secara end-to-end.

Langkah penting berikutnya adalah penguatan petani swadaya sehingga mereka memperoleh manfaat langsung dari program biodiesel.

“Petani swadaya memegang peranan besar dalam industri biodiesel nasional karena mereka berkontribusi sekitar sepertiga dari produksi minyak sawit nasional,” kata Azis.

Oleh sebab itu, pemerintah perlu mendorong penguatan kapasitas petani swadaya meliputi penguatan kelembagaan, peningkatan produktivitas (peremajaan kebun, pembibitan, dan praktik pertanian yang baik), serta pemenuhan aspek keberlanjutan.

Berkaitan dengan rencana penguatan kapasitas petani swadaya, terdapat kesempatan untuk menyelaraskan rencana tersebut dengan rencana pengembangan area khusus bagi produksi biodiesel nasional yang dikelola secara langsung oleh petani. Petani swadaya memiliki potensi untuk menjadi aktor utama bagi kebijakan tersebut dimana produksi kelapa sawit dari kebun milik petani swadaya dapat dialokasikan secara khusus untuk
pengembangan biodiesel nasional.

Penyelarasan kedua kebijakan ini dapat memastikan petani swadaya sebagai penerima langsung manfaat dari berjalannya program biodiesel nasional.

Azis menambahkan, peningkatan produktivitas dapat menjadi salah satu solusi atas permasalahan lingkungan yang paling menonjol di industri kelapa sawit dan biodiesel, yaitu pembukaan lahan. Diperkirakan bahwa target program biodiesel 20% atau B20 dan B30 dapat tercapai sepenuhnya dengan meningkatkan produktivitas minyak sawit sebesar 1,4 ton per hektar dari tingkat produktivitas nasional saat ini sebesar 2, ton per hektar tanpa memerlukan pembukaan lahan.

Meski demikian, meningkatkan produktivitas bukanlah tugas yang sederhana karena perlu ada peningkatan praktik pertanian pada semua tahap siklus produksi kelapa sawit.

“Intervensi pemerintah sangat penting bagi petani swadaya karena produktivitas dari perkebunan mereka jauh lebih rendah daripada perkebunan yang dimiliki oleh perusahaan minyak sawit,” tandas Azis.(RA)