JAKARTA – Diluar dugaan PT Pertamina (Persero) mampu mencetak laba bersih sepanjang 2021. Salah satu penopang utama positifnya kinerja perusahaan tahun lalu adalah pengakuan dana kompensasi dari pemerintah atas penjualan BBM penugasan yang harganya tidak disesuaikan meskipun harga minyak dunia melonjak.

Emma Sri Martini, Direktur Keuangan Pertamina, mengungkapkan dana kompensasi yang akhirnya diakui pemerintah adalah dana kompensasi selama tiga tahun dan dibayarkan oleh pemerintah yakni 2018, 2019 serta  2021.

Pengakuan kompensasi selisih HJE JBT Solar dan JBKP Pertalite pada 2021 mencapai sekitar US$4 miliar ekuivalen Rp58,6 triliun (di luar pajak) serta pembayaran atas kompensasi 2018 dan 2019 sekitar US$1,7 miliar ekuivalen Rp24,1 triliun (di luar pajak). Sehingga totalnya sebesar Rp82,7 triliun dana kompensasi yang diperoleh Pertamina.

Menurut Emma, dukungan pemerintah berlanjut di tahun 2022 melalui revisi kebijakan yang menetapkan Pertalite (RON90) sebagai Bahan Bakar Penugasan Khusus menggantikan Premium (RON88) dan penyesuaian harga Pertamax. Sebagai bentuk apresiasi Pertamina terhadap dukungan tersebut, telah diterapkan beberapa inisiatif di sektor hilir yang sekaligus merespons perubahan pasar seperti ekspansi transaksi digital, mempercepat outlet Pertashop untuk menangkap peluang pasar yang lebih besar di daerah pedesaan dan mengalihkan sumber energi SPBU ke panel surya.

“Kami sangat mengapresiasi keputusan Pemerintah dan DPR yang telah menambah pagu anggaran subsidi dan kompensasi 2022 untuk menjaga dan melindungi daya beli masyarakat serta menahan potensi inflasi. Hal ini juga merupakan bukti dukungan terhadap Pertamina dalam penyediaan energi di tengah tantangan harga minyak mentah yang tinggi,” kata Emma, Minggu (19/6).

Tahun lalu Pertamina mencetak laba bersih US$2,05 miliar atau tumbuh 95% jika dibandingkan dengan realisasi laba bersih tahun lalu US$1,05 miliar.

Sepanjang tahun lalu, Pertamina mampu memperoleh pendapatan mencapai US$57,51 miliar atau tumbuh 39% dari realisasi tahun 2020 sebesar US$41,47 miliar. Sementara untuk EBITDA realiasi tahun lalu sebesar US$9,45 miliar tumbuh 19% jika dibandingkan tahun 2020 yakni US$7,95 miliar.

Selain kompensasi Pertamina sukses mencetak laba lantara program penghematan biaya (cost saving) yang jumlahnya mencapai US$1,36 miliar, penghindaran biaya (cost avoidance) sebesar US$ 356 juta serta tambahan pendapatan (revenue growth) sekitar US$495 juta.

Pertamina menerapkan program optimalisasi biaya di seluruh Pertamina Group yang meliputi penghematan biaya, penghindaran biaya, dan peningkatan pendapatan. Paralel dengan upaya penghematan, Pertamina juga menjalankan program lindung nilai (hegding) untuk manajemen risiko pasar. Selain itu, perseroan juga melakukan sentralisasi pengadaan, prioritas belanja modal dan manajemen aset dan liabilitas untuk menurunkan biaya atau beban bunga (cost of fund).

“Kami berupaya mengoptimalkan seluruh biaya serta mengelola aspek finansial perusahaan, agar dapat menekan biaya termasuk memprioritaskan proyek-proyek yang memiliki hasil cepat,”ungkap Emma. (RI)