JAKARTA – Parlemen mendesak pemerintah agar segera melunasi hutangnya kepada Pertamina yang jumlahnya tembus jumlahnya tembus lebih dari Rp80 triliun.

Eddy Soeparno, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, mengungkapkan telah ditengah kondisi seperti sekarang penting bagi Pertamina menjaga cash flow ditengah tidak adanya penyesuaian harga BBM sementara harga minyak dunia jauh diatas asumsi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).

“Koomisi VII mendesak pemerintah agar kompensasi kepada Pertamina segera dibayarkan guna mencegah krisis likuiditas Pertamina yang dapat mengganggu pengadaan dan penyaluran BBM nasional,” jelas Eddy (29/3).

Selain itu Komisi VII kata Eddy juga mendukung perubahan komposisi pemberian subsidi dan kompensasi BBM dengan meningkatkan porsi BBM subsidi yang lebih besar.

“Komisi VII juga mendesak supaya Dirjen Migas Kementerian ESDM menyiapkan roadmap dan infrastruktur strategic petroleum reserves (SPR) guna menciptakan cadangan BBM Nasional,” ungkap Eddy.

Pemerintah telah meminta Pertamina dan PLN untuk menahan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik pada 2020 dan 2021 telah berdampak terhadap kas negara. Pemerintah harus membayar total Rp 109 triliun ke dua perusahaan pelat merah itu.

Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, sebelumnya menuturkan secara total dalam hal ini pemerintah memiliki kewajiban Rp 109 triliun sampai akhir 2021.

Sepanjang 2020, kompensasi yang harus dibayarkan pemerintah karena menahan kenaikan harga BBM dan tarif listrik adalah Rp 63,8 triliun. Pemerintah mencicil di tahun berikutnya sebesar Rp 47,9 triliun. Dimana khusus BBM masih ada sisa yang harus dibayarkan sebesar Rp15,9 triliun.

Kemudian pada 2021, harga kembali ditahan walaupun dari sisi global mulai ada kenaikan harga minyak dunia. Hal ini akhirnya menambah jumlah kompensasi dari penjualan BBM tahun 2021 yakni US$68,5 trlliun. Sehingg utang pemerintah kepada Pertamina yang harus dibayarkan, sebesar Rp84,4 triliun.

“APBN mengambil seluruh shock yang berasal dari minyak dan listrik. Masyarakat tidak mengalami dampak namun APBN yang harus mengambil konsekuensinya,” kata Sri Mulyani. (RI)