JAKARTA – Koalisi Peduli RUU Minerba menyatakan penerbitan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 7 Tahun 2020 bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba). Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan Permen 7/2020 diterbitkan dengan alasan untuk kepentingan efisiensi dan efektifitas dalam mengelola kegiatan usaha pertambangan serta mendorong pengembangan pengusahaan.

Arifin juga menyatakan kewenangan Menteri ESDM terkait penerbitan IUPK Operasi Produksi sebagai kelanjutan operasi Kontrak Karya (KK) dan PKP2B telah mempertimbangkan sejumlah hal krusial, khususnya penyesuaian terhadap Permen ESDM sebelumnya.

“Permen itu (7/2020) menganggap UU 4/2009 tidak ada,” kata Budi Santoso, Direktur Eksekutif Center for Indonesian Resources Strategic Studies (CIRUSS), kepada Dunia Energi, Rabu (1/4).

Yusri Usman, Juru Bicara Koalisi Peduli RUU Minerba, mengatakan bahwa koalisi yang beranggotakan Simon Sembiring, Ryad Chairil, Ahmad Redi, Marwan Batubara, Bisman Bahktiar SH, Lukman Malanuang, Budi Santoso, Djowamen Purba, telah menyatakan bahwa UU Minerba Nomor 4 tahun 2009 masih berlaku hingga saat ini. Sehingga, belum ada perubahan satu pasal pun sampai ditentukan lain di kemudian hari.

Koalisi juga menegaskan bahwa menurut hirarkis perundang-undangan, seperti diatur pada UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dikatakan bahwa Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri tidak boleh bertentangan dengan Undang Undang di atasnya.

Menurut Yusri, pada Pasal 75 ayat (3) UU 4/2009, jelas dikatakan bahwa untuk setiap tambang KK dan PKP2B yang berakhir waktunya, diambil oleh negara untuk diberikan hak prioritas pengelolaannya kepada BUMN dan BUMD. Pada Pasal 83 ayat (d) UU 4/2009 disebutkan bahwa luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi pertambangan batubara diberikan dengan luas paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare.

“Sebaliknya di dalam Permen (7/2020) tersebut di atas justru melebihi ketentuan yang telah tertuang dalam UU Minerba. Ini berarti, Menteri ESDM telah memberi kuasa kepada dirinya meniadakan UU Minerba, khususnya pasal 83 ayat (d),” kata Yusri.

Berdasarkan pertimbangan UU tersebut di atas, seharusnya langkah kebijakan Menteri ESDM harus mempertimbangkan peraturan perundang -undangan yang berlaku.
Menteri maupun DPR, tidak dapat serta merta merubah isi pasal 75 ayat (3) UU Minerba, apalagi perubahan yang dilakukan melenceng dari tujuan pengelolaan sumber daya alam yang telah diamanahkan dalam konstitusi.

Untuk kepentingan efisiensi dan optimalisasi pendapatan pengelolaan sumber daya alam khususnya batu bara, dan mengingat tertekannya pasar komoditas internasional, maka semestinya Menteri ESDM menghindari kebijakan yang ditujukan untuk kepentingan segelintir pengusaha tanpa berpijak pada kepentingan jangka panjang yang telah diamanahkan konstitusi.

“Semestinya Menteri ESDM dapat melakukan evaluasi atas transfer pricing yang disinyalir masih dilakukan oleh beberapa perusahaan tambang melalui berbagai cara, salah satunya melalui penjualan lewat trader (di dalam dan luar negeri) yang dibuat dan dikelola untuk kepentingan perusahaan tersebut,” tandas Yusri.(RA)