JAKARTA- Kebijakan pemerintah menurunkan harga gas untuk industri menjadi US$ 6 per MMbtu per tanggal 1 April 2020 akan berdampak kepada semua sektor, baik hulu maupun midstream. Mamit Setiawan, Direktur Eksekutif Energi Watch, mengatakan keputusan ini akan berdampak kepada semua sektor, terutama hulu dan midstream.
“Untuk sektor Hulu,sebagaimana yang diutarakan oleh Menteri ESDM tidak ada pemotongan dari K3S tapi pemotongan dari penerimaan negara. Salah satu penerimaan negara yang terbesar adalah PNBP Migas yang pada 2019 sebesar Rp 115,1 triliun,” ujar Mamit dalam keterangan tertulis yang diterima Dunia-Energi, Kamis (19/3).
Dengan demikian, menurut Mamit, di tengah turunnya harga minyak dunia saat ini dan penurunan penerimaan negara dari gas, target PNBP migas sebagaimana target dalam APBN 2020 sebesar Rp 127,3 triliuun akan sulit tercapai.
Menurut dia, dengan kondisi seperti ini SKK Migas harus melakukan pengawasan yang ketat kepada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) untuk lebih bisa effiesien lagi dalam pelaksanaan operasional karena harga sedang turun dan pendapatan negara berkurang.
”Melalui effisiensi diharapkan bisa membantu pengurangan pendapatan pemerintah. Tapi, jangan sampai juga pengetatan ini menggangu investasi di sektor migas karena kita sedang berusaha untuk meningkatan produksi,” katanya.
Mamit juga menjelaskan sektor midstream adalah sektor yang paling terpukul dengan penurunan harga gas indutri ini. Kebijakan penurunan harga gas untuk Industri ini memukul PGN selaku industri midstream.
“Untuk midstream saya kira yang akan paling berdampak. Jika pemerintah menekan biaya distribusi dan transportasi turun menjadi US$1,5-2 per MMBTU akan sangat memberatkan industri midstream ini,” ujar Mamit
Kebijakan ini juga berpotensi membuat PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) sebagai BUMN merugi. Hal ini dapat terjadi mengingat sebagai badan usaha yang berniaga menggunakan infrastruktur, 95% biaya yang dikeluarkan PGN bersifat fix cost.
“Pembangunan pipa transmisi, distribusi, dan pembangunan terminal regasifikasi untuk LNG semua sudah dilakukan dengan investasi yang tidak sedikit. Karena itu, penurunan biaya operasi sudah tidak mungkin dilakukan. Biaya operasi dan pemeliharaan jaringan juga tidak bisa dipangkas begitu saja karena terkait kehandalan jaringan pipa dan aspek safety,” katanya.
Tidak hanya memasalahkan kondisi yang bakal dialami PGN dalam waktu dekat, Mamit juga khatwatir terhadap nasib perngembangan industri midstream ke depan karena dianggap tidak menguntungkan lagi. Padahal untuk mendukung optimalisasi pemanfaatan gas bumi domestik, Indonesia masih butuh banyak investasi di infrastruktur gas bumi.
“Saya masih belum melihat secara detail dari rencana Menteri ESDM untuk sektor midstream ini kedepannya akan seperti apa”, ujarnya.
Dia menyarankan pemerintah melindungi industri midstream ini. Apalagi industri gas memerlukan infrastruktur dari wellhead hingga ke end user, atau dari terminal LNG sampai ke end user. “Jangan sampai sektor midstream menjadi terpukul akibat penurunan harga ini, dan pada akhirnya akan menghambat perkembangan industri gas bumi nasional,” katanya.
Menurut dia, penurunan harga gas indutri ini benar-benar memberikan dampak berganda. Mengacu pada arahan Presiden Joko Widodo, industri yang diberikan insentif penurunan harga gas harus betul-betul diverifikasi dan dievaluasi. Dengan demikian, pemberian insentif penurunan gas akan memberikan dampak yang signifikan dan memberikan nilai tambah bagi perekonomian Indonesia.
“Kementerian Perindustrian harus tanggung jawab terhadap pemberian nilai tambah terhadap insentif harga gas yang diberikan. Pemerintah, badan usaha hulu migas, badan hilir migas sudah berkorban banyak,” ujarnya. (RA)
Komentar Terbaru