JAKARTA – Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 telah menghapus limbah batubara hasil pembakaran yaitu Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dari kategori Limbah Bahan Berbahaya Beracun (LB3).  Keputusan tersebut dinilai terlalu jelas menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada industri tanpa mempertimbangkan lagi kepentingan lingkungan hidup, kesehatan masyarakat, dan masa depan transisi energi bersih terbarukan nasional.

Andri Prasetyo, Peneliti dan Pengkampanye Trend Asia, mengatakan penetapan aturan ini tidak terlepas dari desakan simultan sejak pertengahan 2020 oleh Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), termasuk Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI-ICMA) yang menjadi bagian di dalamnya.

“Penghapusan FABA dari kategori limbah berbahaya ini adalah bagian dari Paket Kebijakan Besar (Grand Policy) yang secara sistematis dirancang untuk memberikan keistimewaan bagi industri energi kotor batu bara mulai dari hulu hingga ke hilir,” kata Andri dalam diskusi virtual, Jumat (12/3).

Dalam laporan Analisis Timbulan & Kebijakan Pengelolaan Limbah B3 di Indonesia yang dikeluarkan oleh BAPPENAS disebutkan bahwa FABA termasuk dalam jenis limbah B3 terbanyak dihasilkan pada tahun 2019 . Bahkan, Bottom Ash masuk dalam kategori limbah dengan tingkat bahaya tertinggi dengan skor 13 (dari skala 14), sedangkan Fly Ash memiliki skor 11 (dari skala 14). Ketika FABA berstatus sebagai limbah B3 pun, banyak studi kasus yang menunjukkan perizinan belum berhasil memastikan perlindungan atas risiko.

Para penghasil abu maupun pihak ketiga yang mengelola abu belum betul-betul mengelola risiko dan memenuhi persyaratan teknis yang layak sebagaimana diatur dalam regulasi. Bahkan beberapa kasus menunjukkan pemilik izin melakukan pembuangan abu illegal tanpa pengelolaan di sungai, rawa, tanah kosong dekat rumah penduduk, maupun memberikan secara cuma-cuma kepada penduduk sebagai material urug

Fajri Fadhillah dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), menegaskan upaya masif oligarki batu bara ini dimulai dari revisi UU Minerba, UU Omnibus Law Cipta Kerja, proyek hilirisasi batubara yang berusaha membajak RUU EBT, dan sekarang dengan menghapus limbah FABA dari jenis limbah B3.

Menurut Fajri, berbagai kebijakan ini hanya bertujuan agar industri energi kotor dapat terus mengeruk untung berganda. Penghapusan FABA dari daftar limbah B3 adalah keputusan bermasalah dan berbahaya. Batubara mengandung berbagai jenis unsur racun termasuk logam berat dan radioaktif.

“Ketika batu bara dibakar di pembangkit listrik, maka unsur beracun ini terkonsentrasi pada hasil pembakarannya yakni abu terbang dan abu padat (FABA),” ungkap Fajri.

Fajri mengatakan ketika FABA berinteraksi dengan air, unsur beracun ini dapat terlindikan secara perlahan, termasuk arsenik, boron, kadmium, hexavalent kromium, timbal, merkuri, radium, selenium, dan thallium ke badan lingkungan.

“Unsur-unsur ini sifatnya karsinogenik, neurotoksik dan beracun bagi manusia, ikan, biota air, dan satwa liar. Alih-alih memperkuat implementasi pengawasan dan penjatuhan sanksi pengelolaan abu batubara dari pembangkit yang akan memperkecil risiko paparan, pemerintah justru melonggarkan aturan pengelolaan abu batubara dengan mengeluarkannya dari daftar Limbah B3,” kata Fajri.(RI)