JAKARTA – Industri hulu migas dituntut melakukan optimasi biaya yang berkelanjutan agar tetap bertahan menghadapi situasi global dengan harga minyak rendah dan pandemi Covid-19 yang menyebabkan biaya meningkat.

Dyah Anjarwati, Kepala Divisi Perencanaan Anggaran, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), mengungkapkan optimasi biaya menjadi tanggung jawab SKK Migas karena biaya operasi turut berdampak pada pencapaian pendapatan pemerintah dari sektor hulu migas. Sejak 2017, optimasi biaya menjadi prioritas sebagai bentuk dari lesson learned pasca penurunan harga minyak secara drastis pada 2015-2016.

Pada 2019, program optimasi menjadi bagian rencana strategis SKK Migas. Hasilnya, pada 2019 terdapat penghematan biaya hingga US$2 miliar.

“Di sisi lain, untuk menjaga tingkat produksi, SKK Migas mendorong anggaran yang berdampak pada peningkatan produksi hingga US$300 juta pada 2019,” kata Dyah, Senin (7/12).

SKK Migas berkomitmen melakukan untuk berkolaborasi dengan seluruh pemangku kepentingan untuk lebih mengeksplorasi berbagai potensi optimasi biaya.

“Dukungan dari penyedia teknologi juga diharapkan agar kegiatan eksplorasi lebih akurat, penemuan lebih cepat, serta produktivitas sumur dan keekonomian lapangan meningkat,” ujar Dyah.

Agus Amperianto, General Manager Pertamina Hulu Mahakam (PHM),  sebelumnya mengatakan Blok Mahakam dapat menjadi contoh penerapan optimasi biaya di lapangan migas di Indonesia. Dengan lapangan mature yang telah berproduksi lebih dari 45 tahun membuat biaya produksi PHM cenderung meningkat. “Kami dituntut untuk efisien agar operasi dapat berkelanjutan,” tukas Agus.

Pada 2018, belanja operasional (operating expenditure/Opex) PHM mencapai US$ 1,115 miliar dan meningkat pada  2019 menjadi US$ 1,144 miliar.

Meski Opex, produksi justru turun.  Dampaknya, biaya per barel naik dari US$ 17,9 per barel pada 2018, menjadi US$ 22,9 per barel.

Pada 2020, PHM melakukan optimasi biaya hingga 34%. Opex diproyeksikan sebesar US$750 juta dan biaya per barel pun turun menjadi US$17,9 per barel.

“Optimasi biaya ini diperoleh dari optimasi pengeboran, konstruksi, asuransi fasilitas dan sumur, rantai suplai, hingga digitalisasi. “Hal ini dicapai tanpa mengorbankan integritas operasi,” kata Agus.

Norliwati Abdul Wahab, Head of Upstream Finance & Risk, Petronas, mengatakan ada tiga hal yang dapat dilakukan dalam melakukan optimasi biaya. Pertama, mulai mempertimbangkan aspek margin dan hal-hal yang mendorong tercapainya margin. Sebagai perusahaan migas yang juga menjadi operator, aspek yang paling diperhatikan adalah biaya yang dapat dikembalikan (cost recoverable). Dikategorikan biaya yang dapat dikembalikan dan biaya yang tidak dapat dikembalikan, serta yang masuk ke dalam peningkatan biaya yang akan meningkatkan produksi. Dalam kondisi pembatasan modal, perusahaan harus memprioritaskan alokasi modal.

“Implementasi ini sangat penting, tidak hanya dari segi portofolio perusahaan, tetapi dari segi aset dan lapangan,” kata dia.

Kedua, dalam hal telaah biaya. Data finansial lebih banyak disajikan untuk kebutuhan laporan keuangan rutin, bukan didesain untuk menjadi dasar pertimbangan dalam pengambilan langkah strategis terkait bisnis. Untuk itu, transparansi biaya maupun faktor-faktor pendorong munculnya biaya perlu disajikan secara gamblang. Identifikasi faktor-faktor pendorong munculnya biaya penting agar perusahaan bisa mengambil keputusan yang tepat.

Ketiga, penerapan cara kerja baru melalui pemanfaatan teknologi digital. “Teknologi dan digitalisasi untuk mengurangi ketidakpastian, sehingga mengurangi biaya,” kata Norliwati.

Dia mengungkapkan, peran pemerintah sebagai regulator menjadi penting untuk memastikan biaya yang diajukan kontraktor KKS dapat dipertanggungjawabkan, membantu terciptanya iklim persaingan yang sehat antara kontraktor untuk menurunkan biaya, dan memfasilitasi sharing pengalaman yang ada di berbagai lapangan. “Regulator juga harus mendorong penerapan teknologi baru dengan memberikan insentif kepada kontraktor,” kata Norliwati.(RI)