JAKARTA – Kemenko Marves melalui lakukan pemetaan kesiapan Indonesia dalam upaya Decarbonizing Shipping and Port (dekarbonisasi pada pengiriman dan pelabuhan) dengan MFO Rendah Sulfur di Selat Malaka dan Selat Sunda dalam rangka mempercepat upaya pengurangan emisi menjadi net-zero dan implementasi green port.

“Pada tahun 2021 ini, seluruh negara di dunia kembali menegaskan komitmen dan meningkatkan perhatiannya terhadap permasalahan-permasalahan lingkungan dan isu perubahan iklim,” kata Basilio Dias Araujo Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi, Selasa (9/11).

Pada 1 Januari 2020, Organisasi Maritim Internasional / International Maritime Organization (IMO) telah memberlakukan batasan baru kandungan sulfur dalam bahan bakar minyak yang digunakan di kapal. Aturan yang dikenal sebagai “IMO 2020” tersebut membatasi sulfur hingga 0,50% m/m dari batas sebelumnya sebesar 3,5%. Dalam area kontrol emisi yang ditentukan, batasannya sudah lebih ketat (0,10%). Batas baru ini diwajibkan setelah amandemen Lampiran VI Konvensi Internasional untuk Pencegahan Polusi dari Kapal (MARPOL).

Pemerintah sendiri sudah menerbitkan aturan yakni SE Nomor 35 tahun 2019 Dirjen Hubla Kemenhub tentang Kewajiban Penggunaan Bahan Bakar Low Sulfur dan Larangan Mengangkut atau Membawa Bahan Bakar Yang Tidak Memenuhi Persyaratan Serta Pengelolaan Limbah Hasil Resirkulasi Gas Buang Dari Kapal.

“Dalam SE Nomor 35 tahun 2019, tertuang bahwa kapal berbendera Indonesia dan kapal berbendera asing yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia wajib menggunakan bahan bakar dengan kandungan sulfur dengan nilai maksimal 0,5 % m/m,” jelas Basilio.

Selain untuk mendukung Decarbonizing Shipping and Port, mendorong kapal-kapal agar menggunakan Low Sulphur Marine Fuel Oil (LS MFO) juga dapat menambah pendapatan untuk negara jika Indonesia dapat menjual LS MFO kepada kapal yang melintas.

Berdasarkan informasi dari Kementerian Perhubungan, diketahui bahwa sekitar 90.000 kapal melewati Selat Malaka setiap tahunnya, sekitar 53.068 kapal melewati Selat Sunda setiap tahunnya, dan sekitar 36.773 kapal melewati Selat Lombok setiap tahunnya.

“Banyaknya kapal yang melintasi perairan Indonesia menjadikan Pemerintah Indonesia perlu untuk mendorong dan memastikan kapal-kapal tersebut menggunakan bahan bakar dengan kandungan sulfur dengan nilai maksimal 0,5 % m/m,” ujar Basilio.

Terkait kesiapan Bunkering Low Sulphur Marine Fuel Oil di Indonesia, Pertamina telah meluncurkan bahan bakar kapal MFO sulfur rendah dan telah melakukan Penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara PT Krakatau Bandar Samudera (Krakatau International Port/KIP) dengan PT Patra Niaga Pertamina pada 4 Agustus 2021.

“Penjualan perdana Bunkering Low Sulphur Marine Fuel Oil (LS MFO) juga sudah dilakukan di Dermaga KIP Cilegon pada tanggal 27 Agustus 2021 kepada kapal asing MV. Alona berbendera Siprus sejumlah 160 MT atau setara 175.000 liter LS MFO,” ujar Basilio.

Untuk meningkatkan Decarbonizing Shipping and Port dan pendapatan negara dari kegiatan Bunkering Low Sulphur Marine Fuel Oil (LS MFO), diperlukan dukungan dari stakeholder terkait, baik dari K/L, BUMN dan swasta, pemilik kapal, galangan kapal serta Organisasi Internasional seperti IMO, UNCTAD, dan World Bank.

Basilio menyatakan IMO dapat membantu upaya mempromosikan teknologi rendah karbon dengan memfasilitasi kemitraan publik-swasta dan pertukaran informasi, transfer teknologi, pengembangan kapasitas dan kerjasama teknis, serta peningkatan efisiensi energi kapal, dan menilai secara berkala penyediaan dana dan teknologi serta pengembangan kapasitas untuk mengimplementasikan Strategi IMO melalui Integrated Technical Cooperation Programme (ITCP) dan inisiatif lain termasuk proyek GloMEEP dan jaringan Maritime Technologies Cooperation Centre (MTCC).

“Sementara World Bank dapat membantu negara-negara berkembang dengan produksi dan pasokan bahan bakar nol-karbon yang akan diterapkan pada industri perkapalan di Indonesia,” jelas Basilio.