JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan

Peraturan Presiden yang mengatur soal harga listrik dari pembangkit energi baru terbarukan (EBT)  akan segera terbit dalam waktu dekat ini. Pemerintah memastikan penerbitan perpres tersebut tidak akan melewati tahun ini lantaran kebutuhannya  mendesak untuk menggenjot pemanfaatan EBT.

Rida Mulyana, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM,  mengungkapkan Perpres nantinya diharapkan dapat menarik investor untuk mengembangkan potensi energi terbarukan nasional yang mencapai 417,8 gigatwatt (GW).

Pemerintah serius mendorong pengembangan energi terbarukan lantaran telah terikat dengan Kesepakatan Paris, sehingga harus berkontribusi dalam upaya perbaikan lingkungan global.

“Besok lusa tidak sampai lewat tahun, kami punya Perpres tarif energi terbarukan. Ini akan semakin meningkatkan keekonomian bagi pengembang, sehingga investor semakin tertarik kembangkan energi terbarukan di Indonesia,” kata Rida dalam diskusi virtual, Rabu (21/10).

Dalam Perpres terbaru ini, harga listrik energi terbarukan tak lagi mengacu biaya pokok penyediaan (BPP) listrik seperti selama ini, sehingga harga menjadi lebih baik. Rancangan Perpres menetapkan empat skema harga listrik energi terbarukan yang akan diterapkan yakni harga Feed in Tariff, penawaran terendah, patokan tertinggi, atau kesepakatan. Selain itu, harga listrik energi terbarukan juga mempertimbangkan faktor lokasi pembangkit listrik yang menjadi faktor pengkali (F). Besaran faktor lokasi ini semakin besar untuk daerah Indonesia bagian timur dan pulau-pulau kecil.

Lampiran Perpres juga menetapkan besaran harga pembelian listrik energi terbarukan berdasarkan kapasitas. Harga listrik energi terbarukan juga ditetapkan lebih tinggi di masa awal pembangkit listrik beroperasi, yakni di kisaran 12-15 tahun pertama. Selanjutnya, harga listrik dipatok lebih rendah hingga kontrak berakhir di tahun ke-30.

Rida mengatakan beleid baru dimaksudkan untuk mendorong pemanfaatan energi terbarukan dan meningkatkan investasi dalam negeri, sehingga bisa mendorong peningkatan lapangan pekerjaan. Dia mengaku penyusunan Perpres berdasarkan masukan dari para pelaku usaha yang selama ini keluhkan aturan main  yang tidak ramah terhadap investor.

“Kami sudah bertanya ke investor apakah tarif  menarik atau tidak. Dan mereka meyakini (tarif) akan menarik dan lebih mempercepat [pengembangan] energi terbarukan,” kata Rida.

Tumiran, Akademisi sekaligus Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) 2014-2019 menegaskan harga memang menjadi faktor penentu dalam pengembangan EBT. Tapi peran PLN sebagai pembeli listrik juga harus diperhatikan. Penetapan harga listrik EBT yang melebihi BPP disarankannya jangan menjadi tanggungan PLN saja.

Dalam rancangan Perpres harga listrik EBT sebenarnya tepatnya dalam Pasal 22 sudah disebutkan dalam hal penerapan harga pembelian listrik dalam Perpres menyebabkan peningkatan BPP PLN, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang keuangan memberikan kompensasi ke PLN.

“PLN harus menjadi perusahaan listrik yang sehat. Jangan sampai dia defisit keuangannya karena akomodir tarif,” kata Tumiran.

Rida melanjutkan, pemerintah utamanya mendorong pengembangan energi terbarukan melalui produk-produk kebijakan, seperti regulasi. Namun, pemerintah juga akan turun tangan dalam investasi dengan melaksanakan pengeboran sumur eksplorasi panas bumi dengan APBN. Hal ini mengingat Indonesia memiliki potensi panas bumi terbesar di dunia.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, dari potensi energi terbarukan 417,8 GW, pemanfaatannya hingga hari ini baru sebesar 10,4 GW atau 2,5%. Rincinya, kapasitas terpasang pembangkit surya baru sebesar 0,15 GW dari potensi 207,8 GW, energi air baru 6,08 GW dari 75 GW, energi bayu 0,15 GW dari 60,6 GW, bioenergy 1,89 GW dari 32,6 GW, panas bumi 2,13 GW dari 23,9 GW, serta energi laut dengan potensi 17,9 GW malah belum dimanfaatkan sama sekali.

Strategi ini diharapkannya dapat membuat investor lebih tertarik untuk berinvestasi di sektor panas bumi nasional. Pasalnya, dengan pengeboran eksplorasi dilakukan pemerintah, risiko eksplorasi yang selama ini ditanggung pengembang jadi beralih ke pemerintah. Langkah ini juga membuat harga listrik panas bumi yang selama ini relatif tinggi dari energi fosil menjadi lebih terjangkau.

“Ini negara hadir agar kita tidak terus menunggu. Kita maunya investor datang, tetapi investor tidak mau karena keekonomiannya tidak menarik. Sementara kita juga maunya tarif kecil. Dengan government drilling, panas bumi bisa dipercepat,” kata Rida.(RI)