JAKARTA – Pemerintah telah meluncurkan program pencampuran biodiesel 30% atau B30 pada Januari 2020 untuk mendorong penggunaan Bahan Bakar Nabati (BBN). Saat ini, pemerintah mengandalkan minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) sebagai bahan baku pembuatan biodiesel untuk menghasilkan B30 sebagai campuran bahan bakar solar.

“Berlanjutnya program B30 ini bukan tanpa risiko. Menurut riset kami, program B30 berpotensi menyebabkan defisit pasokan CPO pada 2023 karena meningkatnya permintaan CPO untuk
memenuhi permintaan dari sektor biodiesel,” ungkap Ricky Amukti, Manajer Riset Traction Energy Asia, dalam diskusi yang digelar secara virtual, Selasa (29/12).

Ricky mengatakan, status defisit pasokan CPO akan tiba lebih cepat jika produksi bauran biodiesel semakin tinggi. Potensi defisit ini mengancam kawasan hutan, karena ekspansi lahan perkebunan sawit untuk memenuhi permintaan pasokan bahan baku biodiesel.

Memanfaatkan minyak jelantah (minyak goreng bekas pakai)
sebagai pengganti sebagian pasokan bahan baku CPO dalam program biodiesel Indonesia dinilai dapat meningkatkan manfaat ekonomi. Selain itu, langkah ini juga bermanfaat baik bagi kesehatan, pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dan mendukung pembangunan daerah.

Menurut Ricky, Indonesia memiliki potensi besar untuk memanfaatkan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel untuk mengurangi risiko dampak buruk lingkungan dari minyak jelantah yang kerap dibuang begitu saja ke saluran pembuangan atau didaur ulang kembali untuk menjadi minyak goreng kemasan curah. Di tahun 2019 konsumsi minyak goreng Indonesia menghasilkan 13 juta
ton minyak jelantah Indonesia. Angka ini cukup besar lantaran Uni Eropa menghasilkan 22,7 juta ton di Uni Eropa, Amerika menghasilkan 16 juta ton dan dan India 23 juta ton.

Tenny Kristiana, Peneliti The International Council for Clean Transportation (ICCT), mengatakan bahwa jika ada regulasi yang mewajibkan pengumpulan minyak jelantah dan kemudian digunakan sebagai bahan baku biodiesel, risiko
daur ulang minyak jelantah untuk digunakan kembali sebagai minyak goreng akan berkurang.

“Hal ini tentunya akan mengurangi potensi timbulnya penyakit neurodegeneratif seperti stroke, alzheimer, parkinson dan huntington, hipertensi, penyakit kardiovaskular, penyakit jantung, kerusakan sistem gastrointestinal, serta kerusakan fungsi ginjal dan hati akibat dari penggunaan minyak jelantah secara berulang kali untuk menggoreng makanan,” kata Tenny.

Penggunaan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel dapat mengatasi resiko peningkatan kadar Chemical Oxygen Demand (COD) dan Biological Oxygen Demand (BOD) di perairan
terlebih lagi minyak jelantah tergolong sebagai limbah kategori bahan beracun dan berbahaya (B3).Dari bidang pengurangan gas rumah kaca, riset ICCT menunjukkan meskipun penggunaan biodiesel B30 mengurangi mengurangi 30 juta ton emisi CO2.

“Namun, jika dihitung dari analisis
daur hidup (life cycle) dari sektor hulu (perkebunan sawit) hingga hilir (konsumsi biodiesel), jumlah
emisi CO2 bertambah sekitar 52 juta ton akibat dari ekspansi lahan perkebunan sawit untuk memenuhi permintaan bahan baku biodiesel,” ujar Tenny.

Ricky Amukti menambahkan, penggunaan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel dapat
membantu pemerintah mengatasi fluktuasi Harga Indeks Produksi (HIP) Biodiesel dari CPO dan solar yang tergantung pada harga di pasar internasional.
Tren HIP Biodiesel dari CPO umumnya lebih tinggi dari HIP solar. Sehingga selalu ada potensi beban subsidi yang
tinggi untuk menghadirkan bahan bakar biodiesel. Sementara, minyak jelantah merupakan komoditas yang nilainya tidak tergantung pada harga di pasar internasional.

Ricky mengatakan bahwa pemerintah dapat menetapkan harga tetap (fixed price) sebagai kompensasi bagi sektor penyumbang minyak jelantah untuk bahan baku biodiesel.

“Jika minyak jelantah ditetapkan sebagai bahan baku biodiesel, pemerintah memiliki pasokan bahan baku biodiesel yang harganya stabil dan tidak
terpengaruh oleh fluktuasi harga komoditas di pasar internasional,” tandas Ricky.(RA)