JAKARTA – Pemerintah secara resmi telah menyerahkan Surat Presiden (Surpres) dan Draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja kepada DPR pada Rabu (12/2). Draft RUU Cipta Kerja merupakan salah satu dari empat RUU yang diusulkan pemerintah melalui skema Omnibus Law, yaitu RUU tentang Ibu Kota Negara (IKN), RUU tentang Kefarmasian, RUU tentang Cipta
Kerja, dan RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian.

Draft RUU Cipta Kerja memuat setidaknya 11 Klaster, 79 UU, 15 Bab, dengan 174 Pasal yang akan merampingkan, memangkas dan menghapus puluhan regulasi setingkat UU yang dianggap tumpang tindih dan menghambat kemudahan investasi.
Namun demikian, pada awal proses penyusunan draft RUU Cipta Kerja ini dikritik oleh berbagai kalangan pemerhati sektor pertambangan. Bukan hanya substansi,  namun juga proses penyusunan naskah akademis dan draft RUU Cipta Kerja di eksekutif (pemerintah) yang dianggap tertutup dan kurang partisipatif.

Maryati Abdullah, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia,  mengungkapkan sejak awal publik kesulitan untuk mendapatkan draft naskah akademik maupun draft RUU Cipta Kerja dari pemerintah. Padahal, UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terutama Pasal 89 jo 96 telah mengatur kewajiban pemerintah untuk membuka akses secara mudah segala rancangan peraturan perundang-undangan untuk masyarakat.

“Meskipun saat ini NA dan draft RUU Cipta Kerja sudah di publish di website pemerintah, terutama pasca diserahkannya dokumen tersebut ke DPR, justru momentum krusialnya pada saat penyusunan dan pembahasan di tingkat pemerintah lah, keran aspirasi mesti dibuka seluas-luasnya,” kata Maryati dalam acara diskusi di Jakarta, Senin (24/2).

Aryanto Nugroho, Manajer Advokasi dan Pengembangan Jaringan, PWYP Indonesia,  mengungkapkan secara substansi draft RUU Cipta Kerja, khususnya bab dan pasal yang terkait sektor pertambangan minerba, hampir sama dengan usulan Draft RUU Minerba maupun Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang sempat menjadi kontroversi dan dikritik oleh banyak kalangan beberapa waktu yang lalu.
Pasal-pasal kontroversial seperti perpanjangan otomatis KK dan PKP2B secara langsung tanpa melalui proses lelang dan luas wilayah yang lebih dari 15 ribu hektare, dianggap menguntungkan sejumlah perusahaan besar semata. Ataupun penghapusan Pasal 165 UU Minerba terkait sanksi untuk pemberi izin yang melakukan penyalahgunaan kewenangan terkait pemberian izin
usaha pertambangan.

“Ini seperti kemasan baru, namun sebenarnya isi produknya sama dengan yang kemarin,” ujar Aryanto.

Menurut Aryanto, selain memindahkan pasal-pasal kontroversial RUU Minerba dan DIM Pemerintah, draft RUU Cipta Kerja juga menghapus, mengubah dan menambahkan sejumlah pasal dalam UU Minerba yang berdampak cukup fundamental terhadap sektor ini. Diantaranya, penarikan kewenangan perizinan, pembinaan dan pengawasan ke pemerintah pusat, penguatan konsep wilayah hukum pertambangan, pengaturan persyaratan perizinan melalui rezim peraturan pemerintah.

“Implikasinya sangat luas dan mendasar,” ujarnya.

Dalam konteks penarikan kewenangan ke pemerintah pusat saja misalnya, aturan tersebut berpotensi bertentangan dengan cita-cita otonomi daerah, khususnya di era reformasi. Mengubah konsep desentralisasi dan demokrasi di era otonomi daerah dan berpotensi menggiring Indonesia menuju negara yang sentralistik.

“Apakah pemerintah pusat sudah siap melaksanakan seluruh kewenangan perizinan, pembinaan dan pengawasan sekaligus di sektor ini, baik dari sisi SDM, lelembagaan, dan lainnya,” kata Aryanto.

Menurut Aryanto, sebagian besar perubahan UU sektoral yang terdampak dari Omnibus Law ini memandatkan pada pembentukan peraturan lebih lanjut di bawah UU untuk melakukan pengaturan lebih detail, baik itu melalui Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres) maupun peraturan turunan lebih lanjut di bawahnya. Bahkan, jika terdapat suatu konflik atau dispute dalam pelaksanaan kegiatan investasi dan perizinan, penyelesaian lebih cenderung diserahkan kepada
Presiden melalui Perpres.
Kekhawatiran adanya upaya kembali pada sentralisasi semakin menguak dengan kontroversi Pasal 170
yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah Pusat untuk dapat mengubah UU melalui
Peraturan Pemerintah.

“Dengan problematika dalam tahap prosesnya maupun substansinya, sebaiknya Pemerintah mengkaji kembali lebih dalam dan membuka keran aspirasi seluas-luasnya bagi publik dan pemangku kepentingan untuk memberikan masukan,” kata Aryanto.

Maryati menekankan RUU Cipta Kerja perlu dilakukan kajian lebih mendalam dengan mendengarkan aspirasi dari berbagai kalangan secara luas dan berbagai pemangku kepentingan. Hal
tersebut sangat penting sebagai bentuk assesment atas dampak regulasi (regulatory impact assesment) yang semestinya dikedepankan dalam proses pembuatan kebijakan berupa regulasi.

“Hal ini penting untuk menghindari bias dan konflik kepentingan, serta untuk melakukan pencegahan resiko dampak dengan parameter penilaian yang mendalam dan partisipatif,” tandas Maryati.(RA)