JAKARTA – Pembangunan supergrid nusantara yang digagas oleh Guru Besar Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, Institut Teknologi Bandung (ITB) Pekik Argo Dahono, diyakini bakal meningkatkan bauran energi terbarukan. Supergrid nusantara dengan interkoneksi jaringan listrik, disebut dapat mengembangkan potensi energi terbarukan di Indonesia.

“Jaringan supergrid berkembang konsepnya sejak adanya upaya memanfaatkan energi matahari yang dibangun di daerah gurun sahara Afrika untuk memenuhi kebutuhan energi di Eropa. Besarnya energi yang bisa dihasilkan di kawasan itu akan sangat juga dimanfaatkan untuk mengatasi intermitensi energi matahari tanpa memerlukan baterai,” kata Surya Darma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), kepada Dunia Energi, Kamis(3/2).

Namun, kata dia, hingga kini wacana tersebut belum terwujud. Walaupun analisisnya sulit dibantah karena dilengkapi dengan data serta hasil simulasi yang akurat. Bahkan tahun 2009 ada perusahaan listrik di Eropa dengan serius menindaklanjuti studi tersebut.

Menurut Surya Darma, konsep ini sebenarnya sangat baik karena bisa mengintegrasikan dan menyalurkan listrik berbasis energi terbarukan ke seluruh Eropa. Sumber energinya dapat berasal dari berbagai tempat mungkin juga dari Asia dan Afrika. Hanya saja masih ada eberapa faktor teknis seperti rugi daya listrik (lost of energy) selama dialirkan melalui jaringan yang sangat panjang, kawasan lintas negara yang dilewati yang belum tentu memberikan jaminan keamanan, politik, aspek sosial yang bisa juga berdampak pada aspek finansial dan keekonomian proyek.

“Belum lagi kondisi saat ini yang mulai berkembang ke arah pemanfaatan energi terbarukan dengan sumber daya energinya tidak bisa dipindahkan dan akan lebih efisien jika dibangun setempat. Sumber energinya juga tersebar merata sehingga akan sangat ekonomis dan layak dikembangkan dengan pola isolated grid dibandingkan dengan interconnected supergrid,” kata Surya Darma.

Alhasil, wacana pembangunan suprgrid pun menjadi tanda tanya dan tidak berlanjut.

Surya Darma mengungkapkan, saat ini memang banyak negara dan termasuk Eropa sedang gencar menjalankan konsep kelistrikan terdesentralisasi dengan banyaknya instalasi pembangkit tersebar, distributed generation seperti solar panel, turbin angin dan lain-lain. “Pertanyaannya sekarang bagaimana di Indonesia? Diskursus ini masih menimbulkan pro kontra. Apalagi, Indonesia adalah negara kepulauan yang apabila dikaitkan dengan sumberdaya energi terbarukan sangat tepat apabila dilaksanakan dengan pola distributed generation,” ujar Surya Darma.

Ia menjelaskan, masa depan saat Net Zero Emission (NZE) serta pemanfaatan energi akan didominasi oleh energi terbarukan yang mayoritasnya adalah energi surya, maka peluang penggunaan listrik individu akan sangat besar. Perubahan pola integrated power produser menjadi prosumen (produsen dan konsumen sekaligus) harus dipertimbangkan perlu tidaknya supergrid diterapkan di Indonesia.

Menurut Surya Darma memang ada beberapa lokasi yang di Indonesia yang memiliki sumber energi terbarukan lebih bagus dan kebahagian besar dibandingkan tempat lain. Sementara kebutuhan energinya ditempat itu juga kecil. Hal ini perlu dicari jalan keluar yang baik, misalnya dengan demand creation seperti pola menghidupkannkawasan REBED (Renewable Energy Based Economic Development) dan REBID (Renewable Energy Based Industry Development).

Oleh karenanya, rencana pembangunan supergrid nusantara perlu dikaji dengan baik sebelum dilaksanakan agar tidak mubazir dikemudian hari. Pada era transisi energi, maka peran individual power producer semakin berkembang. Sebagai gambaran sampai tahun 2020 kemarin, status kepemilikan pembangkit energi terbarukan di Jerman dengan total kapasitas senesar 118,3 GW terdiri dari kepemilikan individu sebesar 31,5%, milik para petani mencapai 10,2%, sedangkan milik perusahaana penyedia energi skala kecil sebesar 11,4%, perusahaan energi dengan skala besar hanya 3,4%. Selain itu ada juga milik perbankan 14,1%, milik wiraswasta 13,2% dan sisanya adalah yang lain-lain.

Rencana grid nusantara dalam beberapa perhitungan yang pernah dikemukakan, jika menggunakan kabel laut untuk interkoneksi antarpulau dengan teknologi HVDC, maka biaya investasinya sekitar Rp 3,6-4,4 miliar per kilometer (Km). Menurut kajian IESR yang untuk program “Deep Decarbonization of Indonesia Energy System”, untuk membangun interkoneksi antarpulau membutuhkan investasi US$ 100 miliar atau lebih dari Rp 1.450 triliun hingga 2050.

Surya Darma menekankan, ini membutuhkan dana yang luar biasa besar. Namun, konsep ini tentu saja diharapkan akan dapat meningkatkan penggunaan energi terbarukan dan mengoptimalkan pemanfaatan energi bersih yang tersebar di berbagai kepulauan.
Tetapi ada baiknya sebelum dilaksanakan, perlu dilakukan kajian yang komprehensif pola penggunaan energi di era transisi energi dan era energi terbarukan nantinya, termasuk penggunaan energy storage yang tentu saja mengurangi penggunaan interkoneksi antar pulau dengannjarak yang jauh.

“Belum lagi juga perlu dikaji seberapa besar tantangan lain yang harus dihadapi sebelum interkoneksi antar pulau ini dapat dibangun, seperti rencana pengembangan pembangkit, khususnya pembangkit energi terbarukan dalam jangka panjang. Jadi sebaiknya, kaji dulu agar ada kesimpulan yang baik. Walaupun ide dari Prof. Pekik juga patut dihargai, tetapi tidak berarti harus dipaksa dilanjutkan. Yang perlu agar idenya perlu diteruskan walaupun dengan pola yang berbeda seperti konsep REBED dan REBID,” kata Surya Darma.(RA)