JAKARTA – Industri batu bara dianggap telah menghasilkan berbagai dampak negatif. Di hulu, anak-anak tewas akibat lubang tambang yang diabaikan dan lahan-lahan hijau yang rusak akibat berubah menjadi area pertambangan. Di hilir, pembangkit listrik dengan bahan bakar batu bara yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) mengancam kesehatan dan nyawa warga.

“Posisi Indonesia sebagai produsen batu bara terbesar ke-4 di dunia seolah membuat kita sulit untuk beralih dari penggunaannya,” ungkap Egi Primayogha, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), dalam diskusi virtual akhir pekan.

Pada 2018, produksi batu bara Indonesia mencapai 548 juta ton, di bawah China (3.683 juta ton), India (765 juta ton) dan Amerika (685 juta ton).

Menurut Egi, nafsu untuk terus mengeruk batu bara juga terlihat dari laju produksi batu bara yang 2,5 kali lebih tinggi dibanding rata-rata dunia. Dengan demikian, diperkirakan cadangan batu bara di Indonesia akan habis 67 tahun lagi. Hal ini menunjukkan ketiadaan komitmen Indonesia terhadap darurat iklim yang tengah mengancam bumi beserta generasi masa depan.

Egi menjelaskan, dari tahun ke tahun penggunaan terbesar batu bara selalu untuk pembangkit listrik. Pada 2018, 79,19% batu bara digunakan untuk bahan bakar pembangkit. Hingga kini PLTU masih menjadi jenis pembangkit yang dominan digunakan.

Dari kapasitas infrastruktur ketenagalistrikan yang telah terpasang sebesar 64.924,80 MW, sebanyak 45,68% diantaranya adalah pembangkit berjenis PLTU. Dari jumlah tersebut, 58,15% PLTU dimiliki oleh PT PLN (Persero) dan 41,85% dimiliki oleh swasta.

“Masifnya penggunaan batu bara untuk PLTU dan masih dominannya jenis pembangkit tersebut untuk ketenagalistrikan di Indonesia membuatnya perlu untuk diawasi. Lebih lagi, Presiden Jokowi telah mencanangkan program pembangkit listrik 35.000 MW yang mayoritasnya berjenis PLTU,” ujar Egi.

ICW melakukan penelusuran terhadap individu di balik proyek-proyek pembangkit listrik. Sebanyak 20 PLTU yang tersebar di seluruh Indonesia telah ditelusur.

“Hasil penelusuran menemukan sedikitnya 10 orang terkaya se-Indonesia berada di balik proyek pembangkit listrik. 12 orang di balik pembangkit juga terafiliasi dengan perusahaan di negara surga pajak. Selain itu terdapat 3 orang pejabat publik aktif yang terafiliasi dengan proyek PLTU,” kata Egi.

Egi menekankan bahwa berdasarkan temuan tersebut semakin mengukuhkan fakta bahwa industri batu bara telah menjadi bancakan berbagai pihak. Pengelolaan PLN masih jauh dari prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas. PLN tidak transparan dalam mempublikasikan informasi mengenai PLTU.

“Misalnya, data penggunaan batu bara dan pemasok batu bara dari tiap pembangkit sulit untuk diakses. ICW bahkan telah mengajukan proses sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat,” ujar Egi.

PLN juga tidak mempublikasikan nama PLTU yang lengkap dengan sebaran lokasinya. Selain itu, proses pembangunan PLTU yang sudah direncanakan dalam dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) sulit untuk diketahui.
Hal ini tentunya akan berdampak terhadap proses pengawasan PLTU secara keseluruhan.

Egi mengatakan, PLN semestinya mempublikasikan informasi yang lengkap dan mudah diakses oleh seluruh warga. Selain informasi yang mendasar seperti nama dan lokasi, PLN semestinya dapat mempublikasikan nama-nama perusahaan pengelola pembangkit dan individu yang menjadi beneficial owner dari perusahaan tersebut.

Hal lain yang tidak kalah penting, seperti nilai kontrak dari pembangkit, pemberi dana untuk sebuah proyek pembangkit, proses pembangunan dari proyek-proyek pembangkit yang ada, dan berbagai info relevan lainnya penting untuk dipublikasikan secara lebih luas. Industri batu bara, termasuk diantaranya pembangkit listrik yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakar telah membebani negara dengan tanggungjawab lebih. Negara diharuskan mengalokasikan pengeluaran yang tidak semestinya. Biaya untuk kesehatan warga dan kerusakan lingkungan adalah beberapa contoh.

Padahal, anggaran tersebut bisa digunakan untuk hal yang lebih bermanfaat untuk kebaikan umum. Krisis iklim diantaranya disebabkan oleh penggunaan batu bara yang masih masif, sehingga penggunaan PLTU harus diberikan perhatian khusus.

“Di tengah kondisi darurat iklim, penggunaan PLTU tidak boleh lepas untuk diawasi. Jika PLTU telah terbukti merugikan kebaikan umum, maka penggunaannya harus dihentikan,” tandas Egi.(RA)