JAKARTA – Penghapusan fly ash and bottom ash (FABA) dari jenis limbah B3 seperti yang tercantum dalam Lampiran XIV Peraturan Pemerintah turunan UU Cipta Kerja (PP No 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) yang disahkan awal Februari 2021 harus didukung dengan petunjuk teknis (juknis) dan petunjuk pelaksanaan (juklak) yang mempermudah.

“Pemerintah harus mengeluarkan aturan yang mempermudah. Karena (aturannya) sudah dirilis, jadi tolong dipermudah, jangan sampai kita kalah sama Vietnam,” kata Januarti Jaya Ekaputri, Peneliti FABA dan dosen Teknik Sipil Institut Teknologi 10 November Surabaya saat Webinar bertajuk “Peta Jalan Pemanfaatan FABA yang Ramah Lingkungan dan Multiplier Effect Bagi Perekonomian” yang diselegggarakan Energy and Mining Society (E2S), Jumat (26/3).

Menurut Yani, demikian doktor dari University of Tokyo, Jepang itu disapa, kehati-hatian pemerintah tentu memiliki maksud yang baik sehingga tidak sembrono dalam penggunaan FABA. Namun berdasarkan hasil penelitian terhadap tikus, penggunaan FABA tidak mematikan, bahkan tikusnya bertambah berat badan.

Potensi pemanfaatan FABA jugadinilai cukup besar. Bahkan, lanjut Yani, polymer merupakan salah satu produk yang 100% fly ash bisa mengganti semen. Pemanfaatan fly ash untuk mengganti semen juga terkait dengan isu lingkungan.

“Setiap satu ton semen yang dihasilkan menghasilkan satu ton CO2. Jadi semakin sedikit semen yang digunakan beton yang digunakan semakin ramah terhadap lingkungan,” kata dia yang juga Direktur Geopolimer Indonesia.

Fadjar Judisiawan, Direktur Strategi Bisnis dan Pengembangan Usaha PT Semen Indonesia Tbk, mengatakan bagi industri sebenarnya justru menunggu kejelasan kebijakan pemerintah. Semen Indonesia saat ini sudah memanfaatkan fly ash yang selama ini diambil dari PLTU yang berada di sekitar wilayah pabrik.

“Bagi dunia usaha yang ditunggu adalah tegasnya seperti apa. Karena jika lebih jelas akan lebih gampang hitung-hitungannya,” kata Fadjar.(AT)