JAKARTA – Berbagai program akselerasi pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) terus digalakkan guna mengejar target bauran energi sebesar 23% pada 2025.

Suharso Monoarfa, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, mengatakan pemerintah telah mencanangkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 sebagai langkah awal untuk transformasi ekonomi menuju negara maju.

“Dalam RPJMN juga dimasukkan agenda pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim sebagai salah satu agenda prioritas nasional untuk mengubah ekonomi nasional menuju ekonomi rendah karbon,” kata Suharso, dalam acara EBTKE Conex 2020, Kamis (26/11).

Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian ESDM, mengatakan pengembangan EBT merupakan salah satu strategi untuk pemulihan ekonomi. Dari sisi pertumbuhan bauran energi, EBT sudah mencapai 9,15% pada 2019.

“Tahun ini diperkirakan akan meningkat ke angka 10,9%. Angka ini masih jauh dari target 23% pada tahun 2025,” ujar Dadan.

Menurut Dadan, teknologi EBT dan konservasi energi merupakan penyumbang terbanyak dalam penurunan emisi CO2. Oleh karenanya, EBT diusahakan untuk ditingkatkan sebagai salah satu strategi untuk pemulihan ekonomi dan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK).

Dalam kesempatan yang sama Kwasi Kwarteng, Menteri Bisnis dan Energi Inggris, mengatakan pengalaman Inggris dalam pemanfaatan energi terbarukan penting untuk diimplementasikan di Indonesia. Dengan kebijakan pemerintah yang kuat di Inggris, harga energi terbarukan telah turun secara drastis dan khususnya surya dan angin. Selain itu, teknologi carbon capture juga telah dikembangkan.

“Investasi batu bara di masa depan tidak akan membuat masa depan lebih baik. Shifting ke energi terbarukan seperti di Inggris juga meningkatkan lapangan pekerjaan. Inggris juga telah bekerja sama dengan Indonesia untuk mewujudkan net zero carbon,” tandas Kwasi Kwarteng.(RA)