JAKARTA – Upaya pemerintah untuk meningkatkan gairah investasi migas melalui pemberlakuan skema kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) gross split sebenarnya sudah baik, namun persaingan antar negara dalam meningkat gairah investasi membuat skema terbaru yang ditawarkan pemerintah Indonesia menjadi tidak terlalu berdampak signifikan.

Gary Selbie, Presiden Premiere Oil, mengatakan arah kebijakan gross split sudah memiliki arah bagus, namun harapan terhadap perubahan yang ditargetkan sayangnya tidak tercapai.

“Pada kenyataannya ternyata perubahan tidak seperti yang diharapkan. Perubahan competitive yang ditargetkan tidak signifikan,” kata Gery disela-sela Gas Indonesia Summit dan Exhibition di Jakarta, Kamis (2/8).

Menurut Gery, upaya perbaikan juga dilakukan di negara lain, tidak hanya di Indonesia. Negara lainnya juga menawarkan berbagai insentif untuk menarik para calon investor.

Dengan adanya kondisi tersebut maka pemerintah harus bisa membuka diri tidak hanya terpaku dan berdiam diri menunggu respon lain dari pelaku usaha.

“Tidak seperti yang ditawarkan oleh wilayah lain, yang lebih menarik. Tapi masih ada ruang untuk memperbaiki ini,” ungkap dia.

Roberto Lorato, Direktur dan Chief Executive Officer Medco Energi, mengatakan untuk memperbaiki kondisi industri migas, Indonesia harus melanjutkan terbangunnya koordinasi efektif antar lembaga kemudian antar pemerintah daerah dan stakeholder.

“Ini bukan pekerjaan kecil tapi bisa dicapai. Ini akan membuat industri ini terus berikan berbagi informasi,” kata dia.

Djoko Siswanto, Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menegaskan satu keunggulan gross solit yang harus diperhatikan para pelaku usaha adalah sistem kontrak ini tidak akan terdampak dengan fluktuasi harga minyak dunia karena telah memiliki aturan main sendiri jika terjadi kondisi harga minyak anjlok kontraktor akan mendapatkan insentif.

“Gross split tahan terhadap goncangan harga minyak jika rendah,” kata Djoko.

Dia mengakui tidak mudah dalam meningkatkan gairah investasi. Pemerintah membuka diskusi dan masukan dari para pelaku usaha untuk memperbaiki kondisi yang ada sekarang.

Ada tiga pekerjaan rumah pemerintah yang harus diselesaikan. Pertama dari sisi pembebasan lahan yang masih membutuhkan waktu lama. Ini membuat perusahaan segan untuk melakukan berbagai aktivitas eksplorasi.

“Masih dirasakan perusahaan pembebasan lahan untuk eskplorasi dan produksi. Kami akan kerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) agar eksplorasi dipermudah,” ujar Djoko.

Menurut Djoko, pelaku usaha juga masih mengeluhkan perpajakan. Pemerintah akan coba mencari solusi dari masalah tersebut. Masalahnya perpajakan tidak hanya diatur oleh pemerintah pusat. Ragam pajak juga diwajibkan kepada pelaku usaha yang dipungut pemerintah daerah.

Proses perizinan di beberapa lembaga juga masih kerap kali dikeluhkan dan kondisi ini juga tidak ditampik oleh pemerintah.

“Kami masih merasakan ada beberapa proses izin yang lama. Tapi kami komitmen, untuk bereskan ini. Kami perkenalkan sistem online. 10-15 hari kerja permit sudah harus terbit,” kata Djoko.

Selain itu untuk meningkatkan  kualitas data sektor migas pemerintah akan segera melakukan kajian dalam skala besar dengan kumpulkan geologis Indonesia dalam waktu dekat. Guna menganalisis seluruh informasi geologis yang ada serta memetakan wilayah mana yang berpotensi untuk segera dieksekusi dieksplorasi.

“Kami kumpulkan data-data subsurface dari berbagai institusi. Kami akan analisis semua data. Kita berikan cuma-cuma, open access data, kita tugaskan untuk berikan rekomendasi dari hasil analisis data. Itu membantu pemerintah untuk tetapkan wilayah kerja mana yang paling cocok untuk dilelang,” kata Djoko.(RI)