JAKARTA – Transisi energi jadi tren yang ramai-ramai mulai dilakukan berbagai perusahaan energi termasuk perusahaan migas. Sebelum adanya pandemi COVID-19 perusahaan migas dunia banyak yang mulai mengalihkan investasi ke Energi Baru Terbarukan (EBT). Transisi energi adalah keniscayaan yang sukar dihindari apalagi setelah pandemi ini, dorongan transisi ke pemanfaatan energi bersih makin mengemuka.

PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) juga tidak mau ketinggalan gerbong transisi energi tersebut. Hanya saja strategi transisi energi yang diusung perusahaan yang didirikan oleh Keluarga Panigoro itu masih akan mengandalkan energi fosil berupa gas.

Hilmi Panigoro, Presiden Direktur Medco Energi, mengatakan melalui anak usahanya, PT Medco Power, monetisasi gas jadi salah satu strategi utama dan prioritas dalam merespon tren transisi energi. Apalagi listrik akan menjadi energi masa depan karena elektrifikasi merupakan suatu kenyatan yang akan terjadi di dunia energi sehingga konsumen akan mengambil energi berupa listrk. Untuk itu, arah bisnis Medco ke depan adalah sebagai perusahan yang akan menyediakan kebutuhan listrik tersebut.

Transisi energi sudah dilakukan saat membangun Medco Power beberapa tahun lalu karena energi yang sampai pada konsumen akhirnya akan berupa listrik, baik itu mobil, kereta api, bahkan kendaraan umum di Jawa diproyeksikan ke depan akhirnya akan memakai listrik.
“Kami fokus Medco Power di clean energy, paling-paling yang fosil tinggal gas saja. Itu pun gas sebenarnya walaupun fosil tapi relatif bersih. Kami melihat semua ujungnya adalah listrik yang dibutuhkan masyarakat. Untuk itu transisi energi kita lakukan. Gas adalah instrumen utama Medco dalam melakukan transisi energi,” kata Hilmi saat berbicara pada Media Gathering yang digelar Medco secara virtual, Selasa (8/12).

Migas memang jadi salah satu core bisnis yang tidak akan ditinggalkan oleh Medco meskipun banyak perusahaan dunia lainnya justru memangkas investasi dalam bisnis migas dan mengalihkannya ke sektor EBT.

Menurut Hilmi kondisi di Indonesia unik karena migas kebutuhannya masih besar sehingga bila dlihat dari kacamata bisnis, peluang bagi pengembangan industri migas di Indonsia terbuka lebar. “Karena itu lah di migas Medco masih tetap akan agresif untuk melakukan ekspansi baik akuisisi aupun eksplorasi,” ungkap Hilmi.

Eka Satria, Direktur Utama Medco Power, menjelaskan bahwa potensi untuk monetisasi gas masih terbilang besar. Medco kini membidik proyek Liquefied Natural Gas (LNG) to Power di Indonesia Tengah dan Timur. Dia menuturkan ke depan kebutuhan listrik akan sangat meningkat, gas akan jadi transisi fosil fuel berupa migas menjadi era EBT dan penyimpanan energi. “Indonesia Tengah dan Timur, LNG to Power ini banyak demand-demand ada beberapa proyek kami studi,” ujar Eka.

Gas jadi alternatif utama karena dianggap lebih bersih ketimbang minyak bumi dan sumber dayanya juga masih terbilang lebih banyak ketimbag minyak. Dalam Rencana Umum Energ Nasional (RUEN) persentase gas juga diproyeksikan semakin tinggi jika persentasenya pada tahun 2025 masih 22% maka pada tahun 2025 porsinya meningkat menjadi 24%.

Gas bersama panas bumi dan sumber EBT lainnya seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) jadi fokus pengembangan bisnis Medco Power dalam rangka menjadi Independent Power Producer (IPP) serta menjadi perusahaan operation and maintenance (O&M) terkemuka baik nasional maupun internasional. “Kami akan terus menggarap ke area bersih. Salah satu visi Medco adalah masuk ke power,”ungkap Eka.

Saat ini total kapasitas pembangkit listrik yang dikelola oleh Medco Power mencapai 3.800 Megawatt (MW) dan ditargetkan bisa mencapai 5.000 MW dengan keseluruhan pembangkit yang dikelola merupakan pembangkit bersih dan energi terbarukan.

Dalam target itu ada beberapa proyek gas yang digarap Medco yakni Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) di Riau 275 MW, lalu LNG to Power di Indonesia bagian tengah serta proyek LNG to Power di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat yang diproyeksikan memiliki kapasitas pembangkit antara 150-300 MW.

Medco Power sudah mendapatkan alokasi dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) berasal dari Blok Senoro-Toili yang akan diproses terlebih dulu gasnya di fasilitas Donggi Senoro LNG (DSLNG).

Tahap pertama akan mulai dipasok selama dua tahun dengan volume mencapai 34 juta kaki kubik per hari (MMscfd) untuk tahun 2023-2024. Tahap kedua kontrak jual beli gas akan berlangsung selama 17 tahun sejak 2025 hingga 2042 dengan volume 64 MMscfd. Gas tersebut akan diperuntukan salah satunya untuk pembangkit di Sumbawa nanti.

Dalam masa pandemi, kebutuhan listrik memang alami kontraksi 5-8%. Menurut Eka, Medco tidak terlalu merasakan kontraksi tersebut lantaran harga listrik yang dihasilkan dari pembangkit yang dikelola Medco sangat kompetitif.

“Alhamdulillah kontraksi yang kami rasakan nggak terlalu besar hanya 2-3%, karena kami berada di yg paling atas. karena harganya sangat kompetitif jadi nggak terlalu terganggu,” katanya.

Dalam masa seperti ini kebutuhan akan listrk makin terasa dan akan meningkat. Peningkatan konsumsi listrik diproyeksi akan kembali terjadi pada tahun depan dan produsen listrk harus bersiap menyediakan listrik dengan harga terjangkau.

“Ke depannya kita nggak bisa hidup tanpa listrik kita percaya after covid pertumbuhan listrik akan kembali. secara history rata-rata pertumbuhan listrik kira-kira 2% dari pertumbuhan ekonomi nasional. kita percapai pertumbuhan ekonomi 5-6% setelah covid, pertumbuhan listriknya 7-9% . Nah, transisinya (memenuhi kebutuhan listrik) gas dan LNG,” jelas Eka.

Sementara itu, Djoko Siswanto Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN), mengapresiasi langkah transisi energi yang dilakukan oleh Medco Energi Apalagi memprioritaskan gas yang memang cadangannya lebih besar. Tapi dia mengingatkan transisi harus dijalankan paralel dengan tetap mempersiapkan diri meningkatkan kapasitas pembangkit EBT. “Lanjutkan (transisi energi) tapi harus paralel bareng dengan pengembangan EBT,” ujarnya

Mulyanto, anggota Komisi VII DPR, menyatakan langkah sebagai perusahaan energi sudah sepatutnya Medco memiliki strategi transisi energi yang mengarah ke green energy. Menjadikan gas sebagai awal transisi juga langkah tepat karena cadangan masih cukup banyak, apalagi kalau eksplorasi lebih ditingkatkan, maka tentu akan meningkatkan besarnya cadangan gas ini.

“Ketimbang sumber energi fosil lainnya gas lebih clean.  Cadangan lebih besar dari minyak.  Jadi penggunaan gas akan makin mereduksi defisit transaksi berjalan sektor migas,” kata Mulyanto saat dihubungi Dunia Energi, Rabu (9/12).

Menurut Mulyanto, Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) kata dia sangat quick response saat black out sehingga dapat menjadi instrumen anti black out. Pembangkit gas mirip mesin pesawat, yang start up-nya sangat cepat. Belum lagi dengan combined cycle, sisa panas pada siklus pertama, digunakan untuk menghasilkan uap di siklus kedua. Dengan demikian, sistem pembangkit ini makin efisien dengan Biaya Pokok Produksi (BPP) yang rendah.

Dari sisi harga, lanjut Mulyanto, ketika harga gas turun, baik internasional maupun domestik, maka energi berbasis gas menjadi semakin menarik. “Karenanya ke depan, DMO (peruntukan pasar domestik) gas harus terus ditingkatkan,” ujarnya.

Pri Agung Rakhmanto, pengamat migas dari Universitas Trisakti, mengakui strategi yang menjadikan gas sebagai instrumen utama dalam transisi energi adalah keputusan tepat. Untuk Indonesia, gas dinilai tepat untuk dijadikan sebagai sumber energi utama di dalam transisi energi. Pasalnya, lanjut Pri Agung, transisi energi itu tidak kemudian berarti seluruh energi fosil nantinya akan digantikan dengan EBT. Transisi sebagai transisi di dalam konteks untuk meningkatkan peran EBT sehingga bisa saling melengkapi dengan energi fosil yang bertujuan untuk memenuhi permintaan kebutuhan energi di masa mendatang yang secara nominal absolute-nya akan terus bertambah.

“Medco sudah tepat, permintaan kebutuhan energi ke depan tidak akan cukup hanya dipenuhi dari energi fosil saja, apalagi EBT saja. Jadi disitu konteksnya transisi, untuk memberikan ruang yang lebih banyak bagi EBT untuk berperan dalam bauran energi, bersama dengan energi fosil,” ungkap Pri Agung kepada Dunia Energi.

Transisi energi juga harus ditempatkan dalam kerangka keseimbangan pengelolaan sumber energi yang dimiliki Indonesia. Menurut Pri Agung bauran energi negara-negara maju pun tidak kemudian meninggalkan energi fosil. Bahwa perusahaan-perusahaan energi ke depan mengarah kepada green energi, itu lebih kepada untuk menyesuaikan dengan pasar yang ada. Tapi tidak kemudian mereka meninggalkan bisnis energi fosilnya.

“Kita pun mestinya tidak perlu latah atau sekedar ikut-ikutan, tetapi mestinya konsisten dengan arah kebijakan energi nasional yang sudah digariskan sejak lama sesuai dengan potensi sumber energi yang kita miliki,” tegas Pri Agung. (rio indrawan)