JAKARTA – Perseteruan antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia rasanya akan kembali terjadi setelah masalah perpanjangan kontrak selesai kini percik perselisihan mengemuka saat pengelola tambang Grasberg itu terus menerus menyatakan pembangunan smelter di Gresik, Jawa Timur yang diwajibkan oleh pemerintah adalah proyek rugi. Padahal ketersediaan smelter adalah janji Freeport yang sesuai dengan aturan sehingga mereka mendapatkan perpanjangan kontrak hingga 2041.

Tony Wenas, Presiden Direktur Freeport Indonesia, tanpa keraguan dan dengan tegas menyatakan secara bisnis bagi Freeport pembangunan smelter tidak ada keuntungan dan hanya akan menambah beban perusahaan. Proses penambangan yang dimulai dari bijih kemudian diolah menjadi konsentrat tembaga. Nilai tambah konsentrat mencapai 95%. Sementara itu, pengolahan dari konsentrat menjadi katoda tembaga yang dilakukan di smelter nilai tambahnya hanya 5%.

Menurut Tony, pemasukan smelter hanya mengandalkan Treatment Charge and Refining Charge (TCRC). Sementara harga TCRC selama 20 tahun sampai sekarang yang berlaku di seluruh dunia berkisar di angka US$20 cent-US$ 24 cent per ton tembaga. “Ya memang rugi, kalau proyek rugi saya bilang untung kan menyesatkan,” kata Tony dalam webinar yang digelar. Jumat (4/9).

Tony mengatakan harga biaya TRRC sempat turun pada awal pandemi Covid-19 menjadi sekitar US$ 8 cent per ton. Namun kemudian harganya kembali merangkak naik. Jika proyek smelter membutuhkan investasi US$3 miliar, maka biaya TCRC agar layak secara keekonomian harus mencapai level US$60 cent per ton. Tapi hal itu tidak mungkin terjadi sehingga ada selisih biaya yang harus ditanggung perusahaan.

“Sedangkan kalau kami smelt di tempat lain, kan US$ 20 cent cukup. Jadi akan ada selisih US$40 cent yang harus menjadi beban Freeport,” kata Tony.

Menurut Tony, jumlah selisih yang jadi beban bisa mencapai US$300 juta per tahun. Jika masa izin Freeport Indonesia selama 20 tahun, maka secara kumulatif selisih itu akan menjadi sekitar US$6 miliar. “Ditambah dengan pembangunan sebesar US$3 miliar, kira-kira US$10 miliar,” kata dia.

Tony mengatakan pihak yang paling dirugikan atas kondisi tersebut adalah Freeport Indonesia bersama para pemegang saham, termasuk holding BUMN tambang, MIND ID yang memiliki saham mayoritas sebesar 51,2%. Selain berbiaya tinggi, smelter Freeport juga sulit berkembang nantinya lantaran belum adanya industri hilir yang menyerap hasil produksi smelter.

Dia mengatakan saat ini Freeport memiliki satu smelter tembaga, yakni PT Smelting dengan komposisi kepemilikan 20%. Dari Smelting, ada sekitar 300 ribu katoda tembaga yang diproduksi per tahun. Dari jumlah itu, hanya 50% atau sekitar 150 ribu ton yang mampu diserap oleh pasar domestik.

“Jadi kalau itu terus berlangsung (membangun smelter), dengan hasil 600 ribu ton katoda tembaga, 100% akan diekspor. Kecuali industri hilirnya tumbuh pesar dalam waktu empat tahun ke depan,” kata Tony.(RI)