JAKARTA – Pemerintah harus bertanggung jawab penuh untuk antisipasi masalah yang ditimbulkan akibat berpotensi jebolnya subsudi BBM. Hal itu bisa diwujudkan dengan segera mengambil kebijakan yang kongkrit jangan justru melempar tanggung jawan ke badam usaha yang ditugaskan untuk menyalurkan BBM subsidi.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, menuturkan dorongan pemerintah yang meminta Pertamina untuk membatasi penjualan BBM subsidi cukup memaksakan dam bahkan tidak logis. Karena seyogyanya barang subsidi itu kepentingan pemerintah bukan badan usaha.

“Secara logis aneh. Masa penjual harus membatasi jualannya. Kepentingan penjual ya jualan sebanyak-banyaknya. Kalau menjaga kuota subsidi ya pemerintah seharusnya,” kata Komaidi kepada Dunia Energi, Selasa (16/8).

Hal itu kata Komaidi sangat wajar, pasalnya pemerintah yang memiliki anggaran untuk menjalankan kebijakan subsidi bukan badan usaha meskipun itu Badan Usaha Milik Negara (BUMN). BUMN hanya pelaksana PSO (Public Service Obligation). Artinya kewenangan kebijakan melekat pada pemerintah,” tegas Komaidi.

Komaidi menilai pemerintah sebenarnya memiliki jalan paling ampuh untuk mengendalikan subsidi yakni dengan memanfaatkan instrumen kebijakan penetapan harga. Pilihan lainnya adalah dengan menanggung beban subsidi tersebut.

Menurutnya pemerintah sekarang sedang berhitung untung rugi dari sisi politik. Hal itu berbahaya karena membuat pemerintah jadi tidak tegas dalam mengambil keputusan untuk urusan subsidi BBM. Instrumen paling paten mengendalikan konsumsi adalah menyesuikan harganya.

“Tapi kalau nggak mau menyesuaikan harga ya silahkan tanggung bebannya. Pemerintah tidak bisa ambil dua-duanya. Harus memilih risiko citra atau anggaran. Intinya Presiden bingung. Mau naik nanti jadi bahan kampanye nagatif 2024. Nggak naik tapi APBN sudah cukup dalam tertekan. Sekarang saja sudah defisit Rp900 triliun,” ungkap Komaidi.

Pertamina sendiri mengaku memiliki keterbatasan terutama dari sisi wewenang untuk mengendalikan penyaluran BBM subsidi.

Irto Ginting, Sekretaris Perusahaan PT Pertamina Patra Niaga (PPN), Subholding Commercial and Trading Pertamina, mengungkapkan sampai saat ini masih menunggu revisi Perpres yang didalamnya berisi ketentuan untuk melarang penjualan BBM subsidi berdasarkan jenis kendarannya. “Perlu segera ada pengaturan. Berat kalau aturannya belum clear,” ungkap Irto kepada Dunia Energi beberapa hari lalu.

Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, meminta Pertamina untuk lebih aktif menjaga penyaluran BBM bersubsidi. Dia menuturkan bahwa Pertamina harus membatasi penjualan BBM Pertalite dan Solae subsidi.

“Jadi tentu saya berharap Pertamina untuk betul-betul mengendalikan volumenya, supaya APBN tidak terpukul,” ujar Sri Mulyani belum lama ini.

Ada tiga hal yang membuat alokasi APBN kian membengkak. Selain volume BBM subsidi yang terus naik dari kuota, harga keekonomiannya juga lebih tinggi dari yang sudah diestimasikan, lalu nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

“Itu semuanya memberikan tekanan pada APBN kita di 2022 ini. Meskipun APBN-nya bagus, surplus sampai bulan Juli, tapi tagihannya ini nanti yang kalau volumenya tidak terkendali akan lebih besar di semester II,” jelas Sri Mulyani.

Pemerintah kini tengah membahasnya dengan Pertamina, Menteri BUMN Erick Thohir, dan Menteri ESDM Arifin Tasrif. Khususnya agar APBN bisa lebih tahan terhadap kenaikan harga keekonomian BBM.

“Kan kita mencoba meng-absorb shock-nya tadi. Tekanan yang muncul gede banget kita absorb dengan APBN, dengan dana sampai Rp 502 triliun,” kata Sri Mulyani. (RI)