JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memberi kelonggaran bagi PT Pertamina (Persero) dan badan usaha pemegang izin usaha pengolahan minyak untuk menyerap minyak produksi dalam negeri.

Peraturan Menteri ESDM Nomor 18 Tahun 2021 tentang prioritas pemanfaatan minyak untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri baru saja diterbitkan dan diteken pada 1 Juli 2021 mencabut Permen ESDM 42/2018.

Dalam Pasal 2 Permen ESDM 18/2021 ini disebutkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan domestik, Pertamina dan badan usaha pemegang izin usaha pengolahan minyak bumi hanya diatur untuk memprioritaskan pasokan minyak dalam negeri. Sementara dalam Pasal 2 Permen 42/2018, Pertamina dan badan usaha pemegang izin usaha pengolahan minyak bumi diwajibkan mengutamakan pasokan minyak domestik.

Fajriyah Usman, Pjs Senior Vice President Corporate Communications & Investor Relations PT Pertamina (Persero), mengungkapkan manajemen menyambut baik adanya beleid terbaru ini. Menurutnya dengan aturan baru imni maka Pertamina bisa meningkatkan optimalisasi pengolahan minyak mentah yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan kilang.

“Dengan Permen 18/2021 ini, maka Pertamina dapat lebih mengoptimalkan pengolahan crude yang memang lebih sesuai dengan kebutuhan kilang Pertamina,” kata Fajriyah kepada Dunia Energi, Senin (23/8).

Menurutnya dengan lebih fleksibelnya Pertamina dalam memilih minyak mentah, maka produk yang dihasilkan juga akan lebih baik. “Dengan demikian diharapkan output produk bisa menjadi lebih baik,” ujarnya.

Sementara itu, Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute menuturkan, perubahan diksi ‘wajib’ menjadi ‘memprioritaskan’ bisa dimaknai bahwa pemerintah memberikan kelonggaran terkait penyerapan minyak produksi dalam negeri.

Adanya perubahan ini disebutnya sesuai perkembangan yang ada. “Bahwa dalam banyak kasus harga minyak di dalam negeri bisa lebih mahal dari impor, sehingga kalau dimandatori, biaya produksi BBM (bahan bakar minyak) menjadi lebih mahal,” kata Komaidi.

Bagi Pertamina dan badan usaha, lanjutnya, perubahan ini dapat menghemat biaya pengadaan minyak mentah sekaligus menjaga biaya produksi BBM. Sementara bagi negara, hal ini ujungnya berdampak pada subsidi BBM yang harus dikucurkan. “Saya kira ruh regulasi tersebut demikian,” ujar Komaidi.

Terkait pertimbangan defisit neraca perdagangan yang menjadi pertimbangan pemerintah untuk kemudian mewajibkan penyerapan minyak dalam negeri, menurut Komaidi pada akhirnya ini tergantung opsi mana yang dipilih pemerintah. Ketika kewajiban itu ditetapkan, ada pemahaman kalau produksi minyak dalam negeri pasti lebih murah. Nyatanya, realisasinya tidak demikian.

“Dengan lebih fleksibel nanti bisa ditimbang mana yang paling optimal,” ungkap dia.

Mengacu data Pertamina yang dipaparkan dalam rapat dengan Komisi VII DPR RI, impor minyak mentah tahun ini direncanakan mencapai 118,4 juta barel atau naik hingga 50,44 persen dari impor di tahun lalu hanya sebesar 78,7 juta barel. Impor minyak mentah di 2021 ini juga jauh lebih tinggi dari impor di 2019 lalu yang sebesar 86,9 juta barel.

Nicke Widyawati, Direktur Utama Pertamina, menjelaskan strategi pengadaan minyak tersebut justru dapat menekan defisit neraca perdagangan. Pasalnya, harga impor lebih rendah daripada harga ekspor minyak dalam negeri. Rata-rata pembelian impor minyak mentah di tahun ini sebesar US$ 57,8 per barel, sementara rata-rata ekspor minyak Indonesia mencapai US$ 59,8 per barel.

“Diperkirakan neraca ekspor impor crude masih akan terdapat surplus senilai US$ 75 juta,” kata Nicke.