JAKARTA – Aliansi strategis (strategic alliance) dinilai menjadi salah satu upaya untuk mewujudkan target produksi satu juta barrel oil per day (bopd) dan 12 ribu MMscfd gas pada 2030. Selain harus mengedepankan kerja sama yang saling menguntungkan, aliansi tersebut butuh dukungan pemerintah.
Hal ini terungkap dalam diskusi panel bertajuk Strategic Alliance Acceleration in Natural Resources Utilization to Increase Production in order to Achieve Long Term Strategic Plan to 1 Million BOPD & 12 MMSCFD di ajang Joint Convention Bandung (JCB) 2021 yang digelar secara virtual, Rabu (24/11).

JCB 2021 digelar oleh empat asosiasi profesi di lingkungan Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI), Ikatan Ahli Fasilitas Produksi Minyak dan Gas Bumi Indonesia (IAFMI) dan Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) pada Selasa-Kamis, 23-25 November 2021. JCB 2021

Taufik Aditiyawarman, Direktur Pengembangan dan Produksi Subholding Upstream Pertamina/PT Pertamina Hulu Energi, mengatakan salah satu faktor kesuksesan strategic alliance itu adalah melepas ego. Aliansi ataupun kemitraan merupakan salah satu upaya untuk mendapat hasil yang lebih baik, lebih besar, dan lebih cepat.
“Dengan adanya krisis seperti saat ini seharusnya semua harus terbuka. Strategic alliance itu harus matching antara technology needs dan technology yang tersedia di pasar. Pemilik WK harus terbuka, penyedia teknologi juga ada timbal balik, harus ready,” kata dia.

Taufik yang juga Ketua Umum Ikatan Ahli Fasilitas Produksi Minyak dan Gas Bumi (IAFMI), mengatakan sejak Pertamina membuka program strategic alliance, saat ini sudah ada 29 perusahaan dengan membawa 46 teknologi yang tengah dicoba link and match untuk 27 lapangan.
“Teknologi provider dan teknologi needs belum match. Di beberapa lapangan ada teknologi yang kita aplikasikan untuk program ini. Harapannya memang diskusi dalam no cure no pay adalah bagaimana mencari titik temu economic scale,” katanya.

Menurut Taufik, Subholding Upstream akan menjalankan skema Kerja Sama Operasi (KSO) untuk mengelola Wilayah Kerja (WK) tidak terbatas pada WK yang dikelola PT Pertamina EP. Langkah ini dinilai bisa menjadi peluang untuk lebih agresif mencapai target produksi satu juta barel oil per day (bopd) dan 12 ribu MMscfd gas pada 2030.

Seiring dengan itu, Pertamina sedang memperbaiki skema KSO dan telah berkonsultasi dengan SKK Migas. “Saat ini KSO hanya untuk PEP, kami ingin itu dilakukan juga untuk WK non-PEP. Ini mungkin bisa buka peluang untuk lebih agresif menuju target satu juta barel, sehingga partisipan menuju kesana lebih banyak dan serempak,” kata Taufik.

Taufik menambahkan, integrasi vertikal bisa melalui akuisisi, baik divestasi sebagian maupun divestasi semua. Saat ini Pertamina sedang melakukan mapping terkait hal itu.
“Ada tiga hal, selain no cure no pay, lalu ada KSO, lalu ada merger yang kami dorong untuk mendukung visi internal Pertamina di masa depan,” ungkapnya.

Pada kesempatan yang sama, Benny Lubiantara, Deputi Perencanaan SKK Migas, mengatakan visi produksi satu juta barel yang telah dibuat SKK Migas terus di-update. SKK Migas memahami banyak trigger, pandemi, energi transisi bukan isu baru, sudah lama namun memang ada percepatan.
“Ini tentu berdampak pada proyek-proyek kita. Asumsi-asumsi yang berubah ini tentunya kita update. Pandemi yang dalam sejarah migas belum terjadi ternyata terjadi saat ini, sekarang sudah recovery. Akan terjadi turun naik, itulah karakter oil price,” kata Benny.

Menurut Benny, produksi satu juta bopd adalah kebutuhan, bukan pilihan. Konsumsi dan produksi masih ada gap yang besar. Dan visi satu juta bopd hanya untuk mengurangi gap itu.
“Satu juta secara barang kita bisa confirm ada. Tapi masalah dari dulu adalah bagaimana memproduksikan minyak secara eknomis dan tepat waktu,” katanya.

Benny mengungkapkan tantangan industri hulu migas itu semakin besar. Tuntutan untuk perusahaan berkolaborasi dan mitigasi risiko menjadi tantangan ke depan. “Strategic alliance bisa menjadi part of solution,” katanya.
Konsep strategic alliance ini sangat luas. Tidak sukses karena merasa saat itu tidak butuh, sehingga harus ada win win. SKK Migas akan membantu meng-improve, salah satu bentuk dari strategic alliance dan model lain adalah untuk mendukung pencapaian target produksi satu juta barel.

“Apapun bentuk strategic alliance itu sangat mendukung target satu juta barel. Regulasi yang belum ada akan kami support. Kalau ada yang belum diatur, akan kita usulkan. Kami dukung strategic alliance yang sifatnya meningkatkan produksi,” tegas Benny.

Sementara itu, Devan Raj, Managing Director Schlumberger Indonesia, mengatakan strategic alliance sudah terlibat sejak 2000. Selain harus ada saling membetuhkan, juga ada ada technical need. Selebihnya itu stakeholder alignment penting, regulator, KKKS, dan service company.
“Yang saya lihat proyek itu sebenarnya sudah ada alignment, tapi prosesnya jangan terlalu lama. Kalau ambil waktu lima tahun pasti tidak akan maju. Equitable relationship harus ada, dimana harus win win,” kata dia.

Menurut Devan, no cure no pay, tergantung the size of the project. Dalam beberapa hal kalau size project lebih cepat, Schlumberger dengan senang hati sering masuk dan menganjurkan untuk no cure no pay karena confidence ke teknologi.
“Tapi kalau melihat proyek besar, multi year dengan investasi tinggi dengan keadaan finansial sekarang itu akan sulit. No cure no pay itu adalah sesuatu yang harus dilihat spesifik, investasi berapa dan jangka waktunya berapa. Harus ada win win utk semua pihak,” kata Devan.(RA)