JAKARTA – Target peningkatan produksi minyak dan gas nasional yang telah ditetapkan pemerintah pada dasarnya tidak mudah untuk dapat dicapai. Hal itu karena ketergantungan produksi pada lapangan existing yang sebagian besar telah berada pada kondisi mature. Ketergantungan terhadap lapangan mature menjadi salah satu penyebab menurunnya produksi migas nasional selama periode 2014–2024. Secara rata-rata, produksi minyak selama periode tersebut turun sebesar 3,42% per tahun, sementara produksi gas turun sekitar 1,72% per tahun.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, mengatakan penyempurnaan kebijakan fiskal hulu migas menjadi kunci utama untuk dapat mencapai target produksi migas nasional yang sebagian besar telah berada pada kondisi mature. “Perbaikan kebijakan fiskal menjadi faktor penentu utama untuk meningkatkan investasi hulu migas nasional,” ujar Komaidi, saat diskusi bersama media, Rabu malam (3/12).

Laporan IHS Markit (S&P Global) pada Juni 2025 mencatat bahwa overall attractiveness iklim investasi hulu migas Indonesia menempati peringkat ke-9 dari 14 negara di Asia Pasifik. Dari empat indikator penilaian, yaitu legal & contractual, fiscal systems, oil and gas risk, serta activity & success, Indonesia tercatat memperoleh rating rendah pada aspek fiscal systems (5,11) dan legal & contractual (5,34). Sementara itu, dua indikator lainnya yaitu oil and gas risk dan activity & success mendapatkan rating masing-masing sebesar 5,53 dan 6,03.

Komaidi mengungkapkan munculnya permasalahan pada aspek fiskal di sektor hulu migas nasional akibat hilangnya elemen fundamental dari regulatory framework pada sektor hulu migas yaitu penerapan prinsip assume and discharge. Sebagai landasan hukum utama dalam kegiatan hulu migas, Undang – Undang Migas No.22/2001 tidak lagi menerapkan asas lex specialis (assume and discharge). “Melalui Pasal 31, UU Migas No.22/2001 menyebutkan bahwa perlakuan perpajakan di sektor hulu migas disesuaikan dengan ketentuan Undang – Undang Perpajakan yang berlaku,” kata dia.

ReforMiner menilai perlu dilakukan penyempurnaan regulasi, khususnya pada aspek fiskal, agar kembali selaras dengan konsep Production Sharing Contract (PSC) dan dilakukan secara menyeluruh, baik pada level praktis maupun pada aspek-aspek fundamental.

Pada tataran praktikal, perbaikan dapat dilakukan melalui penyempurnaan kebijakan fiskal pada skema PSC Cost Recovery, yang mencakup pengembalian prinsip assume & discharge (A/D) untuk menjamin kepastian atas pajak tidak langsung; Revisi PP 79/2010 jo. PP 27/2017 dengan menyederhanakan proses pengajuan insentif perpajakan tanpa persyaratan keekonomian yang berlapis; serta Penegasan ketentuan fiskal terkait Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPNBM) melalui regulasi yang lebih konsisten dan otomatis. Penyusunan pedoman insentif berbasis parameter objektif (marginal field, frontier, mature field) juga diperlukan.

Penyempurnaan kebijakan fiskal pada skema PSC Gross Split juga diperlukan diantara melalui revisi PP 53/2017 dengan memperluas pembebasan pajak tidak langsung hingga tahap eksploitasi; pemberlakuan mekanisme pembebasan otomatis, khususnya untuk PPN/PPNBM; penyediaan fasilitas perpajakan tanpa persyaratan surat keterangan fasilitas perpajakan (SKFP); serta pengurangan PBB 100% untuk seluruh tahapan operasi secara otomatis.

Komaidi menekankan perlunya dilakukan penyempurnaan mekanisme transisi fiskal terkait perubahan skema kontrak dan pengelolaan Tax Loss Carry Forward (TLCF), dengan memastikan kompensasi kerugian tetap berlaku dalam skema baru; pemberlakuan surut; penyediaan formula transisi untuk mencegah lonjakan beban pajak dan menghindari peningkatan Direct Tax Loss (DTL); serta penegasan bahwa biaya komitmen pasti (K3P) dapat diakui kembali sebagai biaya operasi dalam skema Cost Recovery.

Dalam tataran fundamental, penyelesaian segera atas proses revisi Undang-Undang Migas yang ada menjadi kebutuhan mendesak. “Dua prinsip utama yaitu assume and discharge dan lex specialis, perlu ditegaskan kembali sebagai landasan fiskal dalam pengusahaan PSC,” kata Komaidi.

Prinsip A/D menetapkan bahwa kontraktor hanya menanggung pajak langsung, sementara pajak tidak langsung dibebaskan dan ditanggung oleh pemerintah. Dengan demikian, porsi bagi hasil antara negara dan kontraktor merupakan penerimaan bersih karena seluruh komponen pajak telah diperhitungkan melalui mekanisme ini. Penerapan asas lex specialis diperlukan untuk menegaskan bahwa ketentuan perpajakan hulu migas mengikuti ketentuan UU Migas secara khusus.

“Penerapan kedua asas ini di dalam sistem perpajakan hulu migas akan memberikan kepastian hukum lebih baik di dalam aspek fiskal pelaksanaan Kontrak Kerja Sama (PSC),” kata Komaidi.(AT)