JAKARTA – PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS), subholding gas dibawah PT Pertamina (Persero ) mengusulkan beberapa penghapusan kewajiban yang selama ini dibebankan kepada perusahaan dalam rangka menurunkan harga gas. Komponen biaya tersebut diantaranya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan iuran kegiatan gas bumi.

Gigih Prakoso, Direktur Utama PGN, mengatakan manajemen PGN telah mengidentifikasi upaya apa saja yang bisa dilakukan untuk menurunkan harga gas. Komponen biaya di midstream turut serta menjadi pembentuk harga gas yang bisa saja dihilangkan.

“Kami usulkan penghapusan PPN, kami menjual gas, kami enggak membebankan PPN, maka biaya biaya setelahnya PPN, kayak PPN LNG kami usul dihapuskan. Lalu kami usulkan penghapusan iuran gas bumi, nanti dialihkan untuk pembangunan infrastruktur gas,” kata Gigih disela Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi VI DPR di Jakarta, Senin (3/2).

Menurut Gigih, saat ini harga beli gas di hulu berkontribusi paling tidak 70% dari komponen biaya PGN. Kemudian untuk transmisi kontribusi terhadap harga 13% dan biaya distribusi 17%.

PGN menargetkan harga baru gas untuk industri yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 bisa diterapkan pada 1 April 2020. “Sedang kami konsultasikan dengan Kementerian ESDM dan SKK Migas secara intensif dan sudah diputuskan target pelaksanaan adalah 1 April 2020,” ujar Gigih.

PGN juga akan melakukan evaluasi terhadap struktur biaya yang timbul sebagai pembentuk komponen harga. “Jadi dari kami akan review seluruh biaya trasportasi gas baik transmisi maupun distribusi yang bisa kami berikan ke industri agar industri bisa lebih bersaing dan meningkatkan kapasitasnya. Mudahan dari diksusi ini ada jalan keluarnya sehingga 1 april bisa kami terapkan Perpres 40,” ungkap Gigih.

Lebih lanjut ia menjelaskan upaya untuk mendukung penurunan harga gas industri menuju US$ 6 per MMBUT diantaranya dengan melakukan efisiensi internal PGN untuk melakukan penghematan distribusi dan transmisi.

“Kami juga melakukan restrukturisasi bisnis. Kami setuju untuk penurunan hulu dan Domestic Market Obligation (DMO) gas. Maka, pasokan gas untuk industri bisa diandalkan agar mereka bisa tumbuh,” kata Gigih.

Menurut catatan PGN kebutuhan gas untuk industri domestik yang sesuai dengan Perpres 40 terdiri dari tujuh industri yakni pupuk, industri petrokimia, industri oleochemical, industri baja, industri keramik, industri kaca dan industri sarung tangan mencapai 320 juta kaki kubik per hari (mmscfd).

“Kami sudah hitung, yang diperlukan untuk 320 mmfscd kebutuhan gas yang bisa dipenuhi dengan harga gas khusus. Harapannya bisa dipenuhi dari DMO gas dengan harga khusus,” kata Gigih.

Perpres No 40 Tahun 2016 mengamanatkan harga maksimal untuk gas industri sebesar US$ 6 per MMBTU. Dari tujuh sektor industri yang harus ikuti aturan tersebut empat sektor yang sudah diturunkan harganya yakni sektor pupuk, petrokimia dan baja

Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, untuk industri pupuk, penyesuaian harga gas terjadi di PT Pupuk Kalimantan Timur 1-4 dengan harga US$ 3,99 per MMBTU, PT Pupuk Sriwidjaja Palembang US$ 6 per MMBTU, PT Pupuk Iskandar Muda US$ 6 per MMBTU, dan PT Pupuk Kujang US$ 5,84 per MMBTU.

Untuk industri petrokimia, pemerintah menetapkan harga gas PT Petrokimia Gresik senilai US$ 6 per MMBTU dan PT Kaltim Parna Industri US$ 4,04 per MMBTU. Sementara itu, harga gas untuk sektor baja dikenakan sebesar US$ 6 per MMBTU di PT Krakatau Steel (Persero) Tbk.

Beberapa industri yang belum mengikuti penyesuaian, yaitu harga gas industri keramik (US$ 7,7 per MMBTU), kaca (US$ 7,5 per MMBTU), sarung tangan karet (US$ 9,9 per MMBTU), dan oleokimia (US$ 8 – 10 per MMBTU).(RI)