JAKARTA – Blok Sakakemang hingga saat ini masih belum juga memproduksi gas lantaran persetujuan rencana pengembangan (Plan of Development/PoD) belum diserahkan ke pemerintah oleh Repsol selaku operator.

Fatar Yani Abdurrahman, Wakil Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), mengatakan SKK Migas sudah memberikan usulan kepada Menteri ESDM agar Blok Sakakemang bisa segera berproduksi maka harus ada perubahan dalam mekanisme rencana pengembangan.

Fatar mengakui biaya investasi yang diajukan Repsol cukup tinggi. Hal ini yang mau dihindari pemerintah karena tingginya biaya akan ikut mengkerek harga gas yang nanti ditawarkan ke konsumen. Jika biaya tinggi maka kontraktor perlu insentif karena jika tidak maka keekonomian pengembangan blok tidak tercapai. Untuk itu SKK Migas menawarkan usulan agar insentif tetap bisa diberikan tapi dengan syarat.

“Kami berupaya membuat win-win solution. Kalau biaya tinggi insentif diberikan, tapi kalau biaya rendah insentif enggak dapat,” kata Fatar Yani kepada Dunia Energi, akhir pekan lalu.

Hanya Kementerian ESDM menghendaki agar penghematan investasi harus terus didorong, sehingga insentif yang diberikan tidak berlebihan. “Saat ini review itu sedang berlangsung. Kalau dari kementerian maunya harga gas jangan mahal, harus murah. Kalau murah tergantung dari biaya investasi, kalau biaya tinggi pasti harga gas jadi mahal. Nah ini yang sedang kami pelajari bersama kementerian,” kata Fatar Yani.

Apabila tidak juga mencapai kata sepakat maka SKK Migas sudah mempersiapkan rencana lain, yakni pengembangan Blok Sakakemang dilakukan secaa fulfill atau maksimal dengan jumlah cadangan yang akan diproduksikan sebesar 2 Triliun Cubic Feet (TCF).

Dalam rencana sekarang, Sakakemang dikembangkan dengan jumlah cadangan yang sudah terbukti hanya 0,5 TCF melalui sumur KBD 2X. Saat ini Repsol masih melakukan pengeboran untuk sumur KBD 3X guna memastikan jumlah cadangan 2 TCF seperti yang diperkirakan sebelumnya.

Menurut Fatar, sisi positif pengembangan Sakakemang dilakukan bertahap bisa membuat data semakin bagus, sehingga dipastikan konfirmasi berapa sebenarnya volume yang ada.

“Artinya kalau sekarang hitung-hitungannya dengan sumur KBD 2X kan baru 0,5 TCF, tapi kalau discovery yang di KBD 3X kami bisa hitung targetnya dapat 2 TCF. Kalau 2 TCF mungkin insentif juga enggak perlu itu juga akan dipelajari, bagaimana teknisnya. Hanya dampaknya pengembangan jadi mundur. Ini lagi ngebor 3X hasilnya bisa di akhir tahun depan,” ungkap Fatar.

Hanya saja untuk mencapai fulfill development memiliki konsekuensi dari sisi waktu pelaksanaan pengembangan yang tidak bisa dilakukan dalam waktu dekat.

Apabila tidak dilakukan pengembangan bertahap maka paling cepat PoD baru bisa disodorkan oleh Repsol pada 2023 mendatang. “Kalau fulfill PoD bisa 2023 atau 2024. itu karena mereka harus secara overall bisa menambah waktunya,” kata Fatar.

Dwi Soetjipto, Kepala SKK Migas, sebelumnya mengatakan salah satu tantangan blok Sakakemang saat ini adalah hitungan soal harga gas. Saat ini hitungan tersebut masih didiskusikan dengan Kementerian ESDM.

Repsol selaku operator Blok Sakakemang mengusulkan harga gas US$ 7 per MMBTU sesuai keekonomian lapangan. Namun, lantaran adanya kebijakan harga gas yang dipatok US$ 6 per MMBTU di industri, harga gas dari blok migas di Sumatera itu diharapkan bisa sekitar US$ 5,4 per MMBTU.

“Namun jika demikian, akan mengganggu keekonomian Blok Sakakemang. Jadi ini kami sedang diskusi dengan Repsol, mudah-mudahan segera selesai. Kami berharap, di Oktober ini ada kejelasakan POD Tahap I ini,” ujar dia.

Salah satu yang membuat harga gas menjadi polemik, lantaran Blok Sakakemang dikembangkan secara bertahap. Meski total perkiraan cadangan gasnya mencapai 2 TCF, rencana pengembangan dalam PoD Tahap I ini hanya mencakup 0,5 TCF saja. Pengembangan secara bertahap ini dalam rangka mempercepat tahap produksi Blok Sakakemang. “Karena POD Tahap I ini lebih sedikit (cadangan gasnya),” kata Dwi.(RI)